Terapi Malaria dari Streptomyces hygroscopicus

Malaria termasuk penyakit mematikan yang disebabkan parasit Plasmodium sp. dan ditransmisikan nyamuk Anopheles sp. serta menjadi ancaman kesehatan global berabad-abad. Di Indonesia, penyakit ini adalah salah satu penyakit yang teratasi secara menyeluruh di Indonesia. Pada 2019 terjadi peningkatan Angka Kesakitan Malaria dibandingkan 2018 yaitu dari 0,84 menjadi 0,93 dengan kejadian tertinggi di wilayah timur seperti Papua, NTT, dan Maluku dengan angka 64,03 di Papua, 2,37 di NTT, dan 0,72 di Maluku.

Salah satu kendala menanggulangi penyakit ini adalah terjadinya resistensi obat-obatan antimalaria.  Tiga dari lima spesies penyebab malaria: P. falciparum, P. vivax, dan P. malariae diketahui berkemampuan resistensi obat. Untuk mencegah perkembangan resistensi obat lini pertama Artemisinin, ditetapkan kebijakan dari monoterapi menuju terapi kombinasi Artemisinin-Based Combination therapies (ACT), namun sekarang resistensi P. falciparum terhadap ACT di Asia Tenggara telah dilaporkan. Terlebih lagi, pengembangan vaksin malaria tidak sejalan dengan respon imun melawan parasit dan kemunculan berbagai mekanisme pertahanan baru Plasmodium sp. sendiri terhadap imunitas tubuh maupun obat.

Berbagai riset dilakukan sebagai upaya menemukan terapi terbaru untuk mengatasi resistensi obat antimalaria, salah satunya penelitian sebuah tim Program Kreativitas Mahasiswa – Riset Eksakta (PKM-RE) 2021 dari Universitas Brawijaya beranggotakan Hero Barazani (FK 2019), Panca Aghniaa Ruuhu Alfaien (FK 2019) dan M. Reva Aditya (FK 2020) dengan dosen pembimbing Prof. Dr. dr. Loeki Enggar Fitri, M. Kes, Sp. ParK dalam penelitian berjudul “Pemanfaatan Fraksi Metabolit Sekunder Streptomyces hygroscopicus Isolat Indonesia sebagai Kandidat Obat Antimalaria Efektif dan Aman”.

Streptomyces hygroscopicus adalah bakteri berkemampuan memproduksi metabolit sekunder yang berperan antibiotik, antijamur, antivirus, antitumor, dan aktifitas imunosupresif. Seorang anggota tim, Panca menyebutkan, “Streptomyces hygroscopicus diketahui berpotensi menghambat pertumbuhan mikroba melalui metabolit sekundernya. Berbagai penelitian menguji metabolit sekunder tersebut dan menemukan senyawa seperti eponemycin dan tryptanthrin yang terbukti menghambat P. falciparum yang merupakan penyebab malaria terberat. Penelitian sebelumnya menyebutkan fraksi metabolit sekunder tersebut masih memiliki banyak kandungan dan analisis fraksi lanjutan disertai uji toksisitas diperlukan untuk mengetahui variasi senyawa demi menemukan komponen antimalaria efektif.”

Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, dengan protokol kesehatan ketat. Berbagai fraksi metabolit sekunder bakteri yang diteliti akan melewati pengujian efektivitas terhadap P. falciparum dengan metode LDH Assay dan uji toksisitas terhadap MCF7 Cell Line  dengan metode MTT Assay secara in vitro.

“Penelitian tim kami menggunakan metode akurat dalam pengujian efektivitas dan toksisitas disertai peralatan dan bahan yang lengkap. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat besar bagi masyarakat, pemerintah, dan akademisi sebagai solusi mengatasi malaria dengan ditemukannya fraksi metabolit sekunder Streptomyces hygroscopicus yang berpotensi menjadi kandidat obat antimalaria terbaru yang aman.” ujar Hero menambahkan.