Tim Pengabdian Masyarakat UPT PKM menginisiasi potensi kehidupan suku bajo menjadi wisata Toleransi. Ketua tim Dr. Nur Chanifah, M.Pdi mengatakan wisata tersebut dibuat agar pengunjung bisa belajar toleransi dari suku bajo.
“Ada beberapa kekuatan yang bisa digali dari Desa Torosiaje yaitu di desa tersebut ada sekitar 11 suku, selain suku bajo yaitu Suku Bugis, Mandar, Buton, Bali, Ambon, Papua, Minahasa, Jawa, Madura, dan Cina hidup damai di desa tersebut. Sehari-harinya mereka hidup berdampingan, rukun, saling bahu membahu, serta tanpa mempermasalahkan asal suku mereka,” kata Nur Chanifa
Nur Chanifah mengatakan berdasarkan wawancara dengan salah satu warga Kamil, Desa Torosiaje ini dapat dikatakan sebagai desa 0 kriminal, karena tidak pernah ada konflik disana. Kalau pun ada, hanya ada pertengkaran kecil itu pun semua dapat diselesaikan secara adat. Tidak sampai berakhir di meja pengadilan.
Mereka mempunyai tradisi atau kearifan lokal yang sangat menjunjung kerukunan, seperti upacara adat, gotong royong, dan ritual-ritual adat.
Selain itu, Desa Torosiaje juga dikenal sebagai desa wisata kampong laut, sehingga ini menjadi kekuatan untuk menambah desnitasi wisata, yaitu wisata edukasi berupa toleransi.
“Namun demikian, SDM mereka dalam pengelolaan wisata masih minim, sehingga ini menjadi kelemahan dari potensi tersebut. Untuk itu, maka perlu ada kerjasama dengan dinas pariwisata setempat,”kata Nur.
Nur Chanifah menjelaskan bahwa strategi untuk mengoptimalkan potensi desa torosiaje sebagai wisata toleransi, dapat dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT dengan memperhatikan aspek dari dalam (internal), yaitu kekuatan dan kelemahan, dan dari luar (eksternal), yaitu peluang dan ancaman.
Masyarakat Bajo harus mampu tetap mempertahankan kearifan lokal tersebut di tengah-tengah kehidupan modern.
“Dengan demikian, maka untuk mewujudkan desa wisata toleransi, membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik dari masyarakat Bajo sendiri maupun dari Pemerintah, khususnya Dinas pariwisata,”katanya.
Pengabdian tersebut beranggotakan Siti Rohmah, M.HI; Drs. Khusnul Fathoni Effendy, M.Ag; dan Mokhamad Rohma Rozikin, S.Pd., M.Pd.
Kedatangan tim ini dilatarbelakangi oleh potensi yang dimiliki oleh Desa Adat tersebut. Suku Bajo terkenal dengan kekhasannya yang tinggal di atas laut.
Dalam sejarahnya, Suku Bajo berasal dari Malaka yang kemudian tersebar ke berbagai tempat di Nusantara, Cina, Singapura, Filipine dan lain sebagainya karena perintah sang Raja untuk mencari puterinya yang Hilang.
Menurut penuturan Pak Rebi selaku mantan Kepala Desa Torosiaje, Sang Raja berpesan kepada seluruh Suku Bajo di Malaka untuk menyebar mencari Sang Puteri dan tidak boleh kembali kecuali berhasil menemukannya.
Oleh karena itu, para Suku Bajo yang tersebar mencari Sang Putri dan tidak berhasil menemukannya membentuk kehidupan di tempat mereka yang baru, termasuk Suku Bajo di Torosiaje.
Namun, sampai kini tidak susah mengidentifikasi Suku Bajo yang tersebar tersebut karena kekhasan bahasa dan adat yang mereka junjung tinggi.
Ada makna historis dibalik nama Torosiaje. Toro artinya tanjung dan Siaje artinya Pak Haji. Hal ini karena Desa Adat Torosiaje yang berada di atas laut ditemukan oleh Haji Patasompah pada tahun 1901. Letak Desa apung Torosiaje sekitar 600 meter dari daratan dan dihuni sekitar 1498 keluarga yang terdiri dari 751 laki-laki dan 747 perempuan.
Desa tersebut kini terdiri dari 4 dusun, dimana sebelumnya hanya terdiri dari 2 dusun. Jika dilihat dari atas, perkampungan ini membentuk pola huruf U. Desa Torosiaje Memiliki fasilitas umum yang layak dan jangan dibayangkan daerah ini tidak tersentuh peradaban.
Di sana terdapat sekolah, masjid, lapangan bulu tangkis, warung-warung yang menjual kebutuhan sehari-hari, dan pastinya tersedia aliran listrik dari PLN dan genset jika listrik padam.
Selain itu, di sana juga terdapat fasilitas penginapan. Ada satu yang merupakan milik pemerintah dan satunya adalah milik warga setempat. Namun, bila sedang ramai, dapat menginap juga di rumah warga. (*/Humas UB).