
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) telah menjadikan digital humanities sebagai center of excellence. Berawal dari lokakarya digital humanities bersama Dr. Miguel Escobar Varela dari National University of Singapore (NUS) yang diikuti oleh para dosen pada Januari lalu, FIB UB terus berupaya untuk meningkatkan kontribusinya dalam bidang tersebut.
Didasari keinginan untuk terus berkembang dan menyebarkan kebermanfaatan bagi masyarakat, FIB UB menjalin kerjasama dengan NUS untuk mendigitalisasi Kajoetangan Heritage sebagai warisan kebudayaan di Kota Malang. Proyek kerja sama ini melibatkan dosen dan mahasiswa dari kedua universitas. Mereka akan berkolaborasi selama dua tahun ke depan untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam upaya pelestarian budaya Kota Malang. Proyek kerjasama ini terbentuk untuk mewujudkan humaniora digital (Digital Humanities) UB Indonesia dan NUS Singapura selama 2 tahun oleh dosen dan mahasiswa.
Dr. Varela, dosen dan peneliti di bidang digital humanities dari NUS, bersama ketujuh mahasiswanya telah sampai di Kota Malang pada Selasa (4/6/2024). Agenda pertama yang dilaksanakan pada kunjungan ini adalah pertukaran pengetahuan sebagai bekal untuk survey proyek kerja sama ini.

Perwakilan dari kedua universitas hadir di Aula Gedung A FIB UB pada Rabu (5/6/2024) dalam acara Kuliah Tamu dan Lokakarya berjudul Documenting Cultures. Acara dibuka dengan sambutan dari dekan FIB UB, Hamamah, Ph.D. Dia menyampaikan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Dr. Varela dan mahasiswanya, serta Redy Eko Prastyo, S.Psi., M.I.Kom,, penulis buku “Intelektual Kampung: Manifestasi Sinergitas Kampung Lingkar Kampus”, musisi kontemporer, dan inisiator Kampung Budaya Cempluk, sebagai narasumber mengenai budaya Kota Malang.
“Kami, FIB UB, sedang berupaya mengembangkan digital humanities dan belajar dari universitas-universitas lain di kancah internasional merupakan salah satu langkah awal yang kami ambil. Kami menginisiasi kolaborasi ini tahun lalu, lokakarya hari ini menandai dimulainya kerja sama antara FIB UB dan NUS,” jelas Hamamah.
Tak lama, Dr. Varela diundang untuk menyampaikan materinya tentang pendokumentasian warisan budaya dengan alat-alat digital. Sebelum menyampaikan materinya, ia turut berterima kasih kepada FIB UB.
“Harapan saya sebenarnya sama dengan FIB UB yaitu membangun jaringan dengan universitas di luar negeri, di mana pun. Pada intinya, kami bercita-cita membangun sinergi di masa depan, bagaimana digital humanities digunakan di ranah budaya. Maturnuwun sanget,” ujar Dr. Varela.
Ia memulai dengan mendiskusikan arti autentisitas dan ingin mendengar pendapat para mahasiswa. Pertanyaan ini ditanggapi oleh Collete, salah satu mahasiswa NUS.
“Yang saya pelajari di kelas adalah bahwa autentisitas bukanlah sesuatu yang statis, tidak ada konsep autentik versus palsu, ada level yang berbeda-beda di dalamnya. Kita mungkin tidak akan menemukan sesuatu yang benar-benar autentik,” jawabnya.
Alyya, mahasiswa FIB UB, menambahkan perspektifnya. “Bagi saya, kata ‘autentisitas’ tidak harus bermakna sesuatu yang tidak pernah dilakukan di dunia ini. Sebenarnya, kata ini bisa bermakna preservasi dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. Solusi yang baru, pendekatan yang baru dari sesuatu yang telah ada juga merupakan sesuatu yang autentik,” ungkap Alyya.

Dr. Varela kemudian menjelaskan bahwa autentisitas adalah sesuatu yang subyektif dan banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan sejarah. Bahkan, beberapa pendapat menyatakan bahwa konsep autentisitas adalah konstruksi Barat dan tidak berlaku secara universal. Terkadang, menginginkan autentisitas menyebabkan menghambat evolusi budaya yang terjadi secara alami. Maka, preservasi budaya dengan cara yang terlalu kaku dapat membatasi kemampuan masyarakat untuk membuat berbagai bentuk adaptasi.
Untuk membuat lokakarya lebih interaktif, Dr. Varela meminta para mahasiswa untuk membentuk kelompok-kelompok kecil. Masing-masing anggota berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan mendiskusikan berbagai pertanyaan mengenai autentisitas, kreativitas, dan pendokumentasian warisan budaya. Strategi ini sukses membuat suasana diskusi menjadi lebih aktif. Mahasiswa UB dan NUS saling bertukar gagasan, pengalaman, serta perkembangan budaya masing-masing.
Setelahnya, Dr. Varela mulai memperkenalkan berbagai metode pendokumentasian budaya, seperti wawancara, fotogrametri, video, virtual reality, dan dokumentasi sistematis. Ia kemudian menjelaskan dengan sederhana sistematika pengumpulan dan pengklasifikasian data sesuai dengan objek yang akan didokumentasikan.
Tak lupa, ia turut berbagi mengenai cara penyajian hasil dokumentasi. Dr. Varela menyajikan beberapa contoh, salah satunya adalah Interactive Wayang Screen, karyanya yang telah dipamerkan di Museum Budaya Tembi, Yogyakarta.
Setelah mendapatkan pengetahuan mengenai makna dan metode pendokumentasian warisan budaya secara digital, para mahasiswa diperkenalkan lebih dalam pada kebudayaan dan subkultur Kota Malang. Narasumber pada sesi ini ialah Redy Eko Prastyo, S.Psi. M.I.Kom.
Redy menjelaskan mengenai sejarah terbentuknya Kota Malang yang turut mempengaruhi berbagai kebudayaan di dalamnya. Beberapa di antaranya adalah bagaimana Malang menjadi kota pertemuan karena lokasinya yang strategis, di mana hal tersebut membuat Malang menjadi kota yang dipenuhi dengan berbagai subkultur dan komunitas.
Dari diskusi dan penjelasan yang telah diberikan, para mahasiswa menunjukkan ketertarikannya terhadap budaya minum kopi di Malang. Mereka melihat kopi dan tempat di mana kopi dikonsumsi sebagai cerminan budaya bersosial masyarakat Malang.
Esoknya, para mahasiswa mulai terjun untuk melihat secara langsung bagaimana kehidupan masyarakat Malang dan apa yang bisa digali lebih dalam. Studi lapangan ini merupakan Langkah awal Dokumentasi Budaya Malang kerjasama UB dan NUS untuk mengumpulkan data asli dari masyarakat Malang.
Destinasi pertama yang mereka kunjungi adalah Pasar Rakyat Oro-Oro Dowo. Pasar yang dibangun pada tahun 1932 ini merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi di Kota Malang. Upaya revitalisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah tidak mengubah esensi dan fungsi dari pasar ini. Beberapa kios pun masih diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Salah satu yang menarik perhatian para mahasiswa adalah Toko Kopi Panca. Kios kecil dengan interior yang sederhana ini menjual berbagai jenis biji dan bubuk kopi. Di belakang kios, mereka menyediakan meja kecil dan kursi bagi pengunjung yang ingin menikmati kopi secara langsung. Tempat ini menjadi titik awal eksplorasi mengenai budaya kopi di Kota Malang.
Mereka melanjutkan observasi di kedai kopi tidak jauh dari sana, Toko Kopi Kongca. Kedai yang berlokasi di Jl. Trunojoyo ini mengusung konsep kopitiam klasik. Desain interior dan daftar menu kedai ini terinspirasi dari kopitiam di Singapura. Lagi-lagi, kedai kopi ini menjadi temuan yang menarik baik bagi mahasiswa UB, mahasiswa NUS, maupun dosen dari kedua universitas.
Pengamatan untuk proyek kerja sama tidak berhenti sampai di sini. Eksplorasi kembali dilaksanakan pada Jumat (7/6/2024). Kali ini, Toko Kopi Sido Mulia menjadi tujuan. Toko kopi ini bukan sekadar toko kopi biasa. Didirikan pada 1952, toko kopi ini merupakan salah satu pemasok kopi tertua di Kota Malang. Pemilik menanam sendiri biji kopi mereka di perkebunan keluarga dan melayani pembelian biji kopi dari puluhan kedai dan kafe.

Setelah puas mengamati Toko Kopi Sido Mulia, para mahasiswa mengunjungi beberapa tempat minum kopi lainnya untuk berbincang dengan para pemilik dan karyawan. Mahasiswa NUS, khususnya, ingin mendapatkan pengalaman lebih banyak mengenai ragam komunitas dan budaya yang dapat ditemui di kedai kopi. Tempat yang dikunjungi antara lain Rumah Akasha, Klodjen Djaja, Pipir Lepen, dan Warung Tenang.
Salah satu lokasi yang juga menjadi pusat budaya minum kopi adalah area Kajoetangan. Area ini memiliki deretan kedai kopi, baik yang telah lama berdiri maupun yang baru dirintis. Area Kajoetangan menjadi pemberhentian terakhir dari para mahasiswa dalam misi awal pengenalan terhadap budaya minum kopi di Kota Malang.
Pembahasan mengenai rencana yang lebih konkrit, khususnya mengenai objek dan format dokumentasi digital, dilakukan di Aula Gedung A FIB UB pada Sabtu (8/6/2024). Dr. Varela, Scarletina Vidyayani Eka S.S., M.Hum., dan Tantri Refa Indhiarti S.S., M.A. mendampingi proses diskusi para mahasiswa.
Metode bertukar pikiran yang diterapkan cukup menarik. Pertama, mahasiswa diminta untuk menuliskan apa yang muncul di kepala mereka ketika mendengar instruksi tertentu. Melalui proses ini, Dr. Varela berusaha menyampaikan pesan bahwa pemahaman setiap orang akan suatu konsep sangat beragam dan cara membuat suatu pekerjaan kelompok menjadi lebih kolaboratif di level ide adalah dengan mendengarkan gagasan masing-masing individu daripada berusaha memutuskan secara kolektif sejak awal.
Semangat kebersamaan begitu terasa pada diskusi tersebut. Ide-ide menarik terus bermunculan dan semuanya mendapat tanggapan yang positif dari para dosen.
Pada sesi diskusi ini, para mahasiswa tidak hanya mendapatkan wawasan mendalam tentang pentingnya dokumentasi digital tetapi juga mengalami langsung bagaimana kolaborasi yang efektif dapat dibangun dari keragaman ide. Proses saling mendengarkan dan menghargai pendapat individu memperkaya pemahaman kolektif dan membuka jalan bagi terciptanya inovasi yang lebih inklusif.
Kolaborasi yang berlanjut selama dua tahun ke depan ini diharapkan tidak hanya akan menghasilkan dokumentasi yang berharga dari Kajoetangan Heritage, tetapi juga menjadi model bagaimana akademisi dapat berkontribusi dalam pelestarian budaya melalui teknologi.
Dengan adanya proyek ini, FIB UB tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pusat keunggulan dalam bidang digital humanities, tetapi juga sebagai pelopor dalam menjembatani antara tradisi dan inovasi untuk keberlanjutan budaya. Harapannya, sinergi ini akan terus berlanjut dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, baik di Malang maupun di komunitas internasional yang lebih luas. [dts/Humas FIB]