Mahasiswa FIB Teliti Adat Golan Mirah Ponorogo

Gapura Masuk Desa Golan dan Dusun Mirah

Polarisasi akibat perbedaan pandangan politik sering kali terjadi, utamanya terkait pemilihan Presiden pada tahun 2019. Saat itu, pandangan politik masyarakat terbelah menjadi dua kelompok yang cenderung menimbulkan konflik sosial. Fenomena tersebut ternyata tidak hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Pada zaman dahulu, fenomena polarisasi juga terjadi pada masyarakat Desa Golan dan Mirah yang tergambar dalam cerita rakyat Golan Mirah yang berkisah tentang Ki Honggolono dan Ki Ageng Mirah yang memiliki pandangan politik yang berbeda. Ki Honggolono mendukung pemerintahan lama, sedangkan Ki Ageng Mirah mendukung pemerintahan baru di Ponorogo.

Cerita rakyat Golan Mirah yang berasal dari Kabupaten Ponorogo sangat mirip kisah Romeo dan Juliet. Cerita rakyat Golan Mirah berawal dari kisah anak Ki Honggolono yang bernama Joko Lancur yang hendak melamar Mirah Putri Ayu, anak perempuan Ki Ageng Mirah. Karena beberapa pertimbangan, lamaran tersebut ditolak secara halus oleh Ki Ageng Mirah.

Kisah asmara Joko Lancur dan Mirah Putri Ayu berakhir dengan kematian. Karena kecewa dan marah, Ki Honggolono mengucap sumpah yang berisi lima larangan pertama warga Desa Golan tidak boleh menikah dengan warga Mirah, kedua segala jenis barang dari Desa Golan seperti kayu, batu, air, dan lainnya, tidak boleh dibawa ke Desa Mirah, dan sebaliknya, ketiga segala jenis barang dari kedua Desa Golan dan Mirah tidak dapat dijadikan satu, keempat warga Desa Golan tidak boleh membuat atap rumah berbahan jerami, dan kelima warga Desa Mirah tidak boleh menanam dan membuat benda apa pun berbahan kedelai

Kelima larangan tersebut sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat kedua desa. Cerita ini awalnya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun hingga menjadi sebuah tradisi. Masyarakat Golan dan Mirah meyakini jika tradisi larangan tersebut dilanggar, maka hal buruk akan menimpa mereka.

Berdasarkan permasalahan tersebut, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) yang terdiri dari Muhamad Agus Prasetyo (Program Studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2018), Awik Tamara (Program Studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2018), dan Syahrul Hindarto (Program Studi Antropologi 2017) dengan dosen pembimbing Millatuz Zakiyah, M.A., melakukan penelitian tentang “Tradisi Larangan Adat pada Cerita Rakyat Desa Golan dan Mirah di Kabupaten Ponorogo sebagai Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal”. Para peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hubungan sosial masyarakat Desa Golan dan Mirah saat ini untuk mencari strategi resolusi konflik yang dapat diterapkan pada masyarakat kedua desa tersebut.

Peneliti mengkaji cerita rakyat tersebut menggunakan konsep analisis semiotika Roland Barthes yang mengungkap sebuah makna leksis melalui signifikasi tahap pertama (denotative sign) yaitu penanda (signifier) yang menghasilkan petanda (signified). Kemudian denotative sign pada signifikasi tahap kedua (connotative sign) yang kemudian menjadi penanda konotatif (connotative singifier) yang menghasilkan petanda konotatif (connotative signified) beserta pengaitnya dengan mitos.

Petilasan Ki Honggolono di Desa Golan dan Makam Joko Lancur, Ayam Jago, serta Mirah Putri Ayu di Dusun Mirah

Berdasar data sejarah, masyarakat Desa Golan dan Mirah ter-polarisasi karena tradisi larangan yang dilatarbelakangi oleh rasa kekecewaan Ki Honggolono pada anaknya, Joko Lancur dengan bahasa kiasan. Sayangnya, masyarakat kedua desa memahami larangan adat Golan Mirah secara mentah. Akhirnya, larangan adat tersebut menimbulkan batasan sosial yang berpotensi memunculkan konflik.

Padahal jika masyarakat memahami tradisi larangan ini sebagai suatu kesamaan sejarah, serta menyadari bahwa tradisi larangan adat adalah kearifan lokal milik bersama, kemungkinan terjadinya konflik akibat batasan sosial yang bersumber dari tradisi larangan tersebut akan menurun. Bahkan, tradisi larangan adat Golan Mirah jika dipahami sebagai sebuah kearifan lokal dapat menjadi strategi resolusi konflik berbasis kearifan lokal.

Kearifan lokal diharapkan dapat memperkuat kebersamaan masyarakat Desa Golan dan Mirah dan mendorong terbangunnya apresiasi, sekaligus dapat menepis segala kemungkinan yang berpotensi merusak solidaritas komunal. Dengan demikian, masyarakat dua desa tersebut dapat menjaga hubungan sosial dengan menghargai dan menjaga tradisi larangan adat pada cerita rakyat Golan Mirah sebagai kearifan lokal dan warisan sejarah leluhur. [DTS/Humas UB]