Sudah menjadi tradisi dalam budidaya tanam padi di negara agraris ini dilakukan dengan cara disawahkan yaitu lahan yang disiapkan dan dibajak dan ditanami dengan selalu digenangi air. Penanaman padi secara tradisional itu sudah dilakukan secara turun temurun, dan bisa dibilang dilakukan di nusantara tercita ini sejak abad ke 9 sebagaimana terukir di Candi Borobudur, berlanjut hingga jaman Majapahit, dan bahkan pada jaman pendudukan Belanda banyak dibangun saluran irigasi dan bangunan pengatur air untuk mengatur pengairan kepetak pesawahan, yang masih ampuh digunakan hingga saat ini.
Namun metode tanam padi yang membutuhkan limpahan banyak air tersebut menjadi kendala tersendiri mana kala jatuh pada musim kemarau, ataupun pada daerah yang kesediaan air kurang. Sehingga mengakibatkan produksi padi tidak bisa dilakukan secara berlanjut dan terus menerus. Disisi lain kebutuhan beras sebagai pangan di negeri ini terus meningkat.
Kebutuhan air untuk kehidupan makhluk didunia semakin meningkat tajam, pengguna air semakin lama semakin berebut, mulai dari air untuk kebutuhan hidup manusia, industri, peternakan, pembangunan dan lain sebagainya. Tapi disisi lain untuk kebutuhan hidup perlu makan, kita butuh air untuk tanaman padi, sehingga bagaimana caranya air dapat digunakan seefisien mungkin untuk kemakmuran bersama.
Merespon fenomena tanam padi boros air, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) berkolaborasi dengan Borouge Ltd. India, PT Kencana Tiara Gemilang dan PT Narasing Hamurti Perkasa membuat terobosan dengan perubahan besar dari sisi penanaman padi secara tradisional yang banyak membutuhkan air dengan “System Mulsa Drip Irrigation in Rice Production”, teknologi budidaya padi dengan menggunakan mulsa dan irigasi tetes lewat pipa pada tanam padi.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan berbagai bidang keilmuan pertanian, antara lain bidang Agronomi Prof. Dr. Ir. Agus Suryanto, MS, Prof.Dr. Ir. Sitawati, M.S. dan Dr. Euis Elih Nurlaelih, S.P., M.Si., bidang Ilmu Tanah Prof. Dr. Didik Suprayogo, M.Sc., Dr. Iva Dewi Lestariningsih, SP., M.Sc., dan Dr. Syamsul Arifin, SP., M.Sc., bidang Hama dan Penyakit Muhammad Akhid Syib`li, S.P., M.P., Ph.D. dan bidang Sosial Ekonomi Dr. Wisynu Ari Gutama , SP., MMA.
Terapan metode ini diklaim jauh lebih efisien, dengan biaya produksi murah, dan menghemat air. Sebuah penemuan dengan sistem tanam padi diluar kelaziman dimana pada umumnya menanan padi dengan disawahkan dalam genangan air.
Saat ditemui di Kebun Percobaan FP UB di Jatimulyo Prof. Agus Suryanto selaku koordinator tim peneliti mengungkapkan, metode ini memberikan kebutuhan air hanya yang dibutuhkan tanaman.
“Tanaman padi itu kebutuhannya air bisa dihitung, selebihnya air itu percuma terbuang, begitu juga pemupukannya akan sesuai dosis dan tidak melebihi takaran kebutuhan tanaman. Air untuk kebutuhan tanaman padi dengan sistem ini bisa mencai 80 persen lebih hemat dibanding dengan metode penanam padi secara konvensional,” katanya.
Dengan sistem penanaman padi disawahkan atau digenangi, maka untuk menghasilkan satu kilogram beras dibutuhkan 5000 lt air, dengan sistem tetes ini satu kilogram beras hanya membutuhkan 1000 lt sehingga bisa menghemat air sampai 80 %,” sambungnya.
Prof Agus menerangkan, dengan penerapan system Mulsa drip Irrigation ini dari produksi tanaman akan lebih bagus. Mulsa akan menghambat pertumbuhan gulma sebagai pesaing dalam berebut hara dan lingkungan pertumbuhan. Proses fotosintesis tanaman lebih sempurna karena melalui mulsa jatuhnya sinar matahari dipantulkan kembali dan ditangkap daun-daun, sehingga tanaman padi tumbuh berkembang dengan lebih baik.
Proses pengairan pada system drip ini diikuti dengan pemupukan seminggu sekali yang bersamaan bisa disertakan air lewat pipa, jadi pemupukan bisa dilakukan lebih efisien dan tepat sasaran untuk sampai pada perakaran tanaman.
Ditinjau dari segi pemeliharaan dilihat lebih praktis, pengairan untuk penyiranam tanaman setiap hari satu petak cukup membutuhkan satu jam. Cukup hanya membutuhkan satu orang, buka airnya selesai dan ditutup kembali.
Dari sisi biaya produksi juga dikatakan lebih murah.
“Kenapa lebih Murah? Karena tidak ada biaya perawatan untuk mencabuti atau menyiangi rumput, sistem ini menggunakan Mulsa yang bisa menghambat pertumbuhan gulma, sedangkan sistem konvensional penyiangan membutuhkan paling tidak dua sampai tiga kali. Itu yang membuat biaya mahal,” tegasnya.
Memang untuk awal tahun pertama kelihatan lebih mahal, untuk menyiapkan mulsa ,pompa air, kran dan pipa-pipa, akan tetapi ditahun-tahun berikutnya peralatan tersebut masih dapat digunakan kembali, dan pada akhirnya jatuhnya lebih murah.
Sistem ini diklaim cocok digunakan dimana saja, dengan tidak memerlukan banyak air maka tidak terkendala pada daerah yang kekurangan air atau kondisi air terbatas.
“Jadi ini merupakan system menanam padi yang lingkunganya kita buat sedemikian rupa sehingga tananam ini tidak tergenangi air tetapi terairi dengan cukup,” katanya.
Dengan Sytem Mulsa Drip In Rice Production ini diharapkan sepanjamg musim usahatani dapat memproduksi tanam padi terus menerus tanpa tergantung pada musim banyaknya limpahan air. Bila sistem ini diaplilasikan minimal dapat memenuhi kebutuhan beras dalam negeri yang terus meningkat. Diharapkan penggunaan mulsa dan drip irigasi ini bisa menghasilkan produksi tanaman padi hingga 7 ton per hektar, meningkat 40% dari produksi rata-rata 5 ton per hektar.
“Sekarang air itu dipikirkan, bulan Mei tanggal 18-24 lalu Word Water Forum (WWF) ke 10 adakan pertemuan di Bali, itu merupakan upaya global mengelola dan melindungi sumber daya air untuk kemakmuran bersama. Semoga ini merupakan salah satu sumbangan pemikiran cara budidaya penanaman padi yang hemat air di Indonesia. Sehingga kedepannya bagaimana caranya kita bisa efisien dan hemat air dari sisi pertanian,” katanya. (KAN/Humas)