
Kota Mojokerto yang di dikenal dengan kelezatan Onde-Onde sebagai buah tangan, juga punya tradisi panjang sebagai kotanya pengrajin sepatu. Sejarah panjang pengrajin alas kaki di Kota Mojokerto sudah dimulai turun-temurun bahkan sejak tahun 1980-an. Kota ini punya jumlah UMKM alas kaki terbanyak di Jawa Timur (23/08/2023).
Menyadari potensi yang luar biasa, para pengusaha alas kaki di Kota Mojokerto bersatu dalam paguyuban yang dikenal sebagai KOMPAK (Komite Pengusaha Alas Kaki Kota Mojokerto) pada tahun 2006. Tujuan dari pembentukan paguyuban ini adalah untuk kolaborasi dalam berbagi ide dan merumuskan strategi bersama guna mengangkat UMKM alas kaki di kota ini.
Namun, seperti banyak usaha di seluruh Indonesia, UMKM alas kaki di Kota Mojokerto juga mengalami tantangan berat selama pandemi COVID-19, pembatasan aktivitas bersekolah dan bekerja secara fisik serta larangan berkumpul telah sangat berdampak pada mayoritas UMKM alas kaki di kota ini.
Ketua asosiasi pengrajin sepatu KOMPAK, Emru Suhadak, mengungkapkan,“Selama pandemi COVID-19, penjualan sepatu mengalami penurunan signifikan baik melalui penjualan eceran maupun partai.”
Seiring dengan pulihnya situasi pasca pandemi, para pengrajin alas kaki di Kota Mojokerto mulai melihat peningkatan dalam pesanan sepatu dan sandal.
Sebagai respon terhadap perubahan ini, Tim Doktor Mengabdi Universitas Brawijaya, yang dipimpin oleh Dr.rer.pol. Wildan Syafitri, ME.,mengadakan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) dengan para pengrajin dan pelaku usaha alas kaki. Acara ini berlangsung di tempat pengrajin Emru, dan bertujuan untuk menggali lebih dalam kebutuhan pelatihan yang akan diadakan dalam waktu dekat.
Dari hasil diskusi, para pengrajin menyadari bahwa setelah pasca pandemi COVID-19, tren masyarakat dalam berbelanja telah mengalami pergeseran dari pasar fisik merambah ke pasar digital melalui berbagai jenis platform digital ataupun market place dan media sosial.
Hal ini menjadi tantangan dan peluang bagi para yang harus disiapkan dengan baik oleh para pengrajin alas kaki untuk menghadapi masa depan.
Namun, tingkat kesiapan dalam menghadapi perubahan ini beragam di kalangan para pengrajin. Mohammad Rizaldi, salah satu pelaku usaha alas kaki, mengungkapkan bahwa penggunaan media pemasaran masih bervariasi di antara mereka.
“Beberapa pengrajin masih menggunakan metode pemasaran konvensional dengan menerima pesanan secara langsung di tempat produksi atau melalui tempat display, sementara yang lain sudah beralih ke pemasaran digital untuk meningkatkan omzet.”kata Rizal.
Rizaldi berharap materi pelatihan yang diberikan tepat dan sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha (praktis) tidak hanya teoritik dan dapat langsung diterapkan setelah pelatihan.
Mochamad Yani, seorang pengrajin lainnya, berpendapat bahwa seharusnya ada pembagian tugas dalam proses produksi dan pemasaran, agar tiap bagian dapat bekerja lebih fokus dan hasilnya dapat dirasakan oleh kedua belah pihak. Ia mengusulkan agar dibentuk lembaga dengan fungsi khusus untuk membantu pelaku usaha alas kaki dalam memasarkan produk mereka.
Pada akhir diskusi, Emru menegaskan bahwa selain kebutuhan pemasaran digital, melibatkan generasi muda dalam bisnis alas kaki di Kota Mojokerto juga sangat penting.
Dr.rer.pol. Wildan menyatakan bahwa hasil dari FGD ini akan ditindaklanjuti oleh Tim Doktor Mengabdi Universitas Brawijaya dengan menyusun materi pelatihan dan memilih fasilitator yang sesuai dengan kebutuhan UMKM alas kaki di Kota Mojokerto.

Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan UMKM alas kaki di Kota Mojokerto dapat menghadapi perubahan pasar dengan lebih siap dan mampu bersaing dalam era digital. (Athoillah/WHY/Humas UB)