Seorang dosen dan peneliti dari Newcastle Law School, the University of Newcastle Australia didatangkan sebagai pembicara dalam acara Bonsai (Bincang dan Obrolan Santai). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Sub-Bagian Kearsipan dan Hubungan Masyarakat Universitas Brawijaya (UB) di Hotel UB pada Jum’at (24/11/2017). Ia adalah Dr. Tim Connor, seorang peneliti yang memiliki kepedulian pada keseimbangan antara keuntungan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam jaringan produksi dan konsumsi global. Dihadapan para wartawan, Connor menyampaikan presentasi berjudul “Perpektif Hukum Perburuhan dan Perusahaan dalam Menghadapi Tantangan Global”. Saat ini Tim Connor sedang berada di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) sebagai dosen tamu.
Dalam keterangannya, Connor menyampaikan bahwa pada lima tahun terakhir ini ia aktif meneliti hukum perburuhan dan perusahaan transnasional di India dan Indonesia. Selama aktif di Oxfam pada 1995-2010, Connor melakukan penelitian dan pendampingan di perusahaan sepatu dan pakaian olahraga Nike, Adidas dan Puma.
Kebijakan ekonomi neo-liberal yang berlangsung selama 40 tahun terakhir menurutnya telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan pekerjaan. Namun disisi lain juga menimbulkan ketidaksetaraan. Ia menyebut bahwa jumlah total kekayaan delapan orang terkaya dunia setara dengan total kekayaan 3.6 milyar orang miskin, yang merupakan separuh dari total populasi dunia. Pemanfaatan mesin dan robot juga disampaikannya bisa mengancam buruh perusahaan. Seperti keinginan Trump mengundang perusahaan untuk membuka pabrik di Amerika Serikat yang ternyata tidak berpengaruh signifikan pada peningkatan jumlah tenaga kerja. Pasalnya, perusahaan yang membuka pabrik di Amerika Serikat ternyata lebih banyak menggunakan robot dan mesin.
Keberadaan hukum perusahaan, diyakini Connor melemahkan keberadaan hukum perburuhan. Karena itu, ia menekankan perlunya reformasi pada kedua produk hukum tersebut. Pada reformasi hukum perburuhan misalnya, ia menyarankan perlindungan yang lebih kuat dalam hak kebebasan berserikat, besaran upah minimum yang lebih tinggi dan penegakannya yang lebih efektif, serta pendefinisian yang jelas tentang buruh. Terkait hal ini, ia mencontohkan kasus intimidasi pendirian serikat buruh KASBI di salah satu perusahaan sepatu dan pakaian olahraga terkemuka yang ada di Jawa Barat. Setelah berbagai proses advokasi, akhirnya perusahaan tersebut mengganti direksi dan mengupayakan berdirinya kembali serikat buruh.
Sementara itu, dalam reformasi hukum perusahaan, ia menekankan pentingnya tanggungjawab perusahaan induk pada setiap mitra yang terlibat dalam rantai pasokan. Ia mencontohkan sebuah pabrik gula di Brazil, yang juga turut memperhatikan petani di perkebunan tebu yang menjadi pemasok bahan baku utama. Connor secara khusus mengapresiasi inisiatif perusahaan dalam mengakomodir konteks peraturan setempat.
Reformasi menurutnya juga diperlukan dalam sistem outsourcing yang saat ini marak digunakan. Pasalnya, keberadaan outsourcing justru semakin menjauhkan buruh dari perusahaan tempat mereka bekerja
Diwawancarai dalam kesempatan yang sama, dosen Fakultas Hukum UB M. Hamidi Masykur, SH, M.Kn menyampaikan bahwa reformasi Undang-Undang perburuhan telah dilakukan sekitar 14 kali. Dalam Undang-Undang tersebut, menurutnya telah mengakomodir hak pekerja seperti Upah Minimum Regional, jaminan hari tua, dan asuransi meskipun dalam pelaksanaannya membutuhkan pengawasan. Lebih jauh ia menyampaikan bahwa kehadiran perusahaan memang mampu meningkatkan pendapatan per kapita suatu daerah. Kawasan yang mampu menarik investasi lebih banyak dan memiliki perusahaan lebih banyak biasanya memiliki UMR lebih tinggi. Seperti disampaikan Connor, pemberian upah tinggi dari perusahaan yang produknya beredar di regional tertentu, justru mampu meningkatkan pendapatan sekaligus daya beli masyarakat. [Denok/Humas UB]