Tim Program Studi S1 Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), mengunjungi SD Negeri 2 Dampit, Kamis (2/5/2024). Kunjungan ini, selain memperingati Hari Pendidikan Nasional, juga melakukan observasi dan pengambilan data secara langsung untuk sebuah rancangan penelitian yang disusun oleh Jauharah Haniyah. Hani, panggilan akrabnya, merupakan seorang mahasiswa disabilitas rungu, tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah tersebut.
Dalam kesempatan itu, tim prodi diwakili oleh Dr. Hermawan, M.Si, Dr. Abd. Qadir Muslim, M.Pd., dan Aulia Luqman Aziz, M.Pd.
Mewakili tim, Hermawan mengatakan bahwa kunjungannya ke SDN 2 Dampit adalah ingin mengetahui secara langsung kondisi pelaksanaan pendidikan inklusi di sana. Melalui Hani, pihaknya mengetahui bahwa SDN 2 Dampit adalah satu-satunya sekolah negeri di wilayah Kec. Dampit, Kab. Malang, dan kecamatan sekitarnya yang mendapat mandat langsung dari Kemendikbudristek untuk menerapkan pendidikan inklusi.
“Topik penelitian Hani ini baru pertama kali diangkat di antara mahasiswa bimbingan kami, sehingga kami terdorong untuk ikut mengetahui bagaimana pendidikan inklusi di sekolah ini,” ujar Hermawan.
Sementara itu, Kepala SDN 2 Dampit Sulistyowati, S.Pd., M.M menyambut baik kedatangan Hani dan tim dosen hari itu. Pihaknya terbuka jika ada mahasiswa yang ingin meneliti atau magang di lembaga yang dia pimpin sejak 2023. Menurutnya, sekolah ini sudah lama menerima SK untuk pendidikan inklusi dari pusat. Namun, hingga kini belum banyak fasilitas atau dukungan nyata yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelaksanaannya.
“Kami hanya punya satu GPK (Guru Pendamping Khusus, red.), sementara ada 16 siswa dengan kebutuhan khusus yang kami terima. Tentu kondisi ini cukup memberatkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, pihaknya sudah berupaya mendorong satu-satunya GPK yang ada di sekolah untuk memastikan status kepegawaiannya, dengan cara mengikuti seleksi PPPK maupun CPNS. Namun, upaya itu menemui hambatan. Status GPK di SDN 2 Dampit saat ini masih berstatus sebagai Guru Tidak Tetap (GTT).
“Ketika Bu Indri (nama GPK, red.) ini hendak mendaftar ternyata tidak ada formasinya (guru inklusi) sehingga gagal mendaftar. Akhirnya sekarang kami dorong untuk mengikuti PPG dulu, karena kami membutuhkan keahliannya,” kata wanita kelahiran Dampit ini.
Dari dialog tersebut, tim dosen prodi mulai menemukan akar masalahnya, yakni belum sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dengan pelaksanaannya hingga level ke daerah. Dengan banyaknya anak usia sekolah di sekitar Dampit yang berkebutuhan khusus, sementara daya tampung sekolah ini sangat terbatas, maka tidak jarang sekolah harus menolak calon siswa. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan, dan harus ada perhatian khusus dari pemerintah pusat. Yakni, dengan cara memperjelas status para guru inklusi. Meskipun sama-sama memiliki kemampuan mendampingi ABK, mereka kurang bruntung jika dibandingkan rekan-rekan mereka guru SLB yang lebih mudah mendapatkan status kepegawaian.
“Padahal saat ini justru semakin banyak anak didik berkebutuhan khusus yang dititipkan di sekolah umum inklusi dibandingkan di SLB karena pertimbangan biaya,” imbuh Hermawan. (LUQ/OKY/Humas UB).