Dosen Universitas Brawijaya (UB) melakukan penelitian terkait pengembangan blue economy di pesisir Jawa Timur. Mereka adalah Dr. Ir. Anthon Efani, MP (Ketua), bersama Prof. Dr. Asfi Manzilati, ME, dan Fitri Candra Wardana, SE, M.ACC.
Didukung oleh pendanaan Sekolah Pascasarjana UB (SP UB), penelitian bertajuk “Implikasi Intervensi Agribisnis dalam Mengatasi Hambatan Pengembangan Blue Economy Prospek Keberlanjutan dan Ketahanan Pangan di Pesisir Jawa Timur” ini diharapkan dapat menghasilkan model pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dan adaptif untuk mendukung ketahanan pangan di wilayah pesisir. Kegiatan ini dilaksanakan Juli hingga November 2025.
Anthon Efani mengatakan, penelitian ini berfokus pada tantangan yang dihadapi dalam penerapan konsep blue economy, sebuah pendekatan inovatif yang memadukan teknologi, lingkungan, dan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan berkelanjutan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendorong utama yang memengaruhi keberhasilan pengembangan blue economy di pesisir Jawa Timur, serta mengatasi hambatan struktural dan kelembagaan yang sering kali menghambat keberlanjutan sosial-ekonomi dan ekologi di wilayah tersebut.
“Penelitian ini melibatkan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, nelayan, akademisi, pengusaha, hingga organisasi non-pemerintah. Dengan total 150 responden, kami berharap dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang kebutuhan dan peluang yang ada di pesisir Jawa Timur. Setiap partisipan diharapkan memberikan pandangan mendalam mengenai tantangan yang dihadapi dan potensi yang dapat dikembangkan melalui penerapan blue economy,” ungkap Anton.
Ia menambahkan, tiga lokasi penelitian yang dipilih, yakni Malang, Trenggalek, dan Probolinggo memiliki karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi yang beragam. Hal ini memungkinkan tim peneliti mendapatkan gambaran lebih luas tentang kondisi pesisir Jawa Timur secara keseluruhan.
“Malang dikenal dengan aktivitas agribisnis yang beragam, Trenggalek memiliki keunikan dalam sumber daya kelautan, sementara Probolinggo memiliki aktivitas ekonomi pesisir yang kaya, termasuk perikanan dan pariwisata,” lanjutnya.
Pada studi ini, tim peneliti menggunakan metode MICMAC (Matrix of Cross Impact Multiplication Applied to Classification) untuk menganalisis hubungan antar variabel strategis dan menentukan faktor kunci dalam keberhasilan pengembangan blue economy. Dengan teknik ini, tim dapat memetakan variabel-variabel yang saling mempengaruhi, seperti ketersediaan teknologi kelautan, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya, keterlibatan pemerintah daerah, kualitas ekosistem pesisir, dan penegakan kebijakan lingkungan.
“Kami berharap hasil analisis ini akan mengungkap variabel-variabel utama yang dapat dijadikan prioritas dalam pengembangan kebijakan yang mendukung keberlanjutan sektor kelautan dan pesisir,” ungkap Anthon.
Anthon juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mencapai tujuan penelitian ini. Menurutnya, pengembangan ekonomi biru membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari akademisi dan pemerintah hingga masyarakat pesisir.
Selain itu, tim mengidentifikasi bahwa peningkatan adopsi teknologi dan partisipasi masyarakat merupakan kunci utama dalam menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumber daya kelautan.
Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah international bereputasi dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah. Ia berharap temuan ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah dan pusat untuk menyusun kebijakan terkait pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan untuk memperkuat ketahanan pangan dan mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir. Dan dapat memberikan dampak signifikan, baik di tingkat lokal maupun nasional, serta menjadi referensi bagi studi-studi lebih lanjut tentang pengembangan ekonomi berkelanjutan di wilayah pesisir Indonesia. [Hilya/Irene]