Pada tahun 2020, energi terbarukan diprediksi akan menyuplai 12% kebutuhan listrik di USA dan 20% di Eropa. Hal ini mendorong kemajuan teknologi penyimpanan energi elektrikal berskala besar dan stabil, yakni baterai.
Baterai yang umum digunakan sebagai perangkat penyimpanan energi pembangkit listrik energi terbarukan adalah baterai litium ion (Li-ion).
Baterai ini menjadi pilihan karena memiliki kepadatan energi tinggi dan self discharge rendah.
Sayangnya biaya yang dibutuhkan cukup besar dan baterai Li-ion sedang menghadapi krisis ketersediaan bahan penyusunnya, terutama litium.
Selain itu energi dan daya baterai Li-ion sangat dibatasi dalam ukuran baterai.
Menimbang fakta-fakta itu, tiga mahasiswa Tekik Kimia, Fakultas Teknik UB, menggagas inovasi perangkat penyimpanan energi pembangkit listrik terbarukan yang belum pernah diaplikasikan di Indonesia, yaitu Redox Flow Battery (RFB).
Ketiganya adalah Moch Hanif Baktitar, Fatin Septianingsih, dan Anggita Adiningrum dengan bimbingan Ir. Bambang Ismulyanto M.S.
Redox Flow Battery (RFB) adalah sebuah sistem elektrokimia tempat menyimpan energi listrik dalam dua larutan yang terdiri dari pasangan redoks yang berbeda.
Kelebihan RFB ini diantaranya; mampu menyimpan energi dalam skala sedang hingga besar, memiliki kemampuan untuk memisahkan kapasitas energi dan daya, daya hidup lama, manajemen dan pemeliharaan termal sederhana, aman, serta kepadatan energi yang rendah.
Selain itu, RFB merupakan salah satu jenis baterai yang andal dan mampu menyimpan energi lebih lama dibanding jenis baterai lainnya.
Aplikasi RFB yang telah dikembangkan adalah Vanadium Redox Battery (VRB). RFB jenis ini telah digunakan sebagai penyimpan energi listrik dari sumber listrik terbarukan dengan skala besar.
Negara-negara maju di dunia telah mengembangkan jenis ini. Salah satunya adalah China.
Negeri Tirai Bambu ini telah menciptakan Vanadium Redox Flow Battery terbesar dengan kapasitas 200MW/800MWh.
Namun dalam pengembangannya, VRB membutuhkan biaya instalasi yang tinggi dikarenakan logam vanadium dan membran Nafion yang mahal, serta Vanadium yang memiliki korositas tinggi.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan RFB dengan bahan aktif elektrolit yang lebih aman, yaitu bahan aktif redoks organik untuk memanfaatkan potensi kimianya dan untuk mengurangi biaya instalasi.
Methylene blue (MB) merupakan zat warna dasar yang sering digunakan dalam industri tekstil sebagai pewarna kulit, kain mori, kain sutra, kain katun, dan tanin, dan industri cat karena harganya yang ekonomis dan mudah diperoleh.
Pada RFB, Methylene Blue (MB) berperan sebagai anolit sedangkan Leuco Methylene Blue (LMB) sebagai katolit.
Selain itu, tim ini juga menggunakan kulit pisang sebagai cairan elektrolit menggantikan asam kuat seperti H2SO4 dikarenakan memiliki kandungan mineral tinggi seperti kalium klorida.
“Dengan modifikasi Methylene Blue sebagai bahan aktif dan kulit pisang sebagai cairan elektrolit, tentunya akan menjadi sebuah gagasan terbarukan untuk menggantikan bahan aktif dan zat elektrolit yang telah dikembangkan selama ini yaitu Vanadium dalam H2SO4 pada Redox Flow Battery,” pungkas Hanif mewakili tim. (mic/Humas UB)