Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2018 sebanyak 7000 bayi baru lahir di dunia meninggal setiap harinya. Di Indonesia sendiri sekitar 185 per hari dengan sekitar 15/1000 bayi hidup.
Beberapa faktor kematian bayi baru lahir di Indonesia yaitu prematuritas 34%, hipotermia 7%, dan ikterus (bayi kuning) 6%.
Demi menurunkan angka kematian bayi baru lahir, empat mahasiswa dari Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (FTUB) bersama dua mahasiswa Fakultas Kedokteran (FKUB) membuat inovasi inkubator multifungsi.
Inovasi ini berbasis Internet of Things sehingga dapat mengontrol keadaan bayi secara optimal serta mengatasi kondisi bayi jika tidak normal.
Inkubator multifungsi terdiri dari dua bagian yaitu bagian mekanik dan bagian elektronik.
Bagian mekanik terdiri atas sebuah inkubator yang dilengkapi dengan ayunan mekanis untuk memberikan kenyamanan pada bayi.
Bagian elektronik terdiri atas dua bagian yaitu bagian software dan bagian hardware. Bagian software meliputi compiler Arduino UNO.
Bagian hardware meliputi ESP-32, sensor suhu DHT22, sensor suara, lampu bohlam, lampu TL 20 Watt atau 52 blue light, dan lampu daylight.
Alat ini mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai penghangat dan fototerapi. Alat difungsikan sebagai penghangat jika pada bayi normal dan juga bayi prematur.
Ketika bayi normal maupun bayi prematur yang baru lahir dimasukkan pada inkubator, maka inkubator akan memberikan penghangat dengan menggunakan lampu bohlam.
Bayi dalam kondisi menggunakan pakaian dan sensor DHT22 akan mengidentifikasi suhu dan kelembapan.
Jika suhu lebih dari 35 dan RH kurang dari 40%, maka lampu otomatis akan mati dan kipas akan menyala.
Jika suhu kurang dari 33 dan RH lebih dari 60%, maka lampu akan menyala dan kipas mati. Pengaturan suhu dapat disesuaikan dengan kebutuhan dari bayi.
Kemudian ESP-32 akan mengirimkan informasi berupa suhu dan kelembapan di dalam inkubator yang ditampilkan pada web baik menggunakan personal computer maupun smartphone. Pengaturan waktu penggunaan alat dapat di setting pada LCD alat.
Ketika bayi kuning dimasukan ke inkubator, maka alat difungsikan sebagai fototerapi yaitu menghidupkan sinar UV yang diperoleh dari lampu TL 20 Watt atau 52 blue light dan lampu daylight dengan kondisi hanya diberi penutup pada mata.
“Waktu fototerapi ini dapat di setting melalui web. Jika terjadi error, maka alat akan memberikan notifikasi pada pengguna melalui web dan juga ditampilkan pada LCD,” papar salah satu anggota tim, Rafa Raihan Fadila.
Jika bayi menangis, lanjut mahasiswa Teknik elektro ini, maka sensor suara akan mendeteksi datangnya suara dan mikrokontroler ESP-32 akan memerintahkan ayunan untuk bekerja dan memberikan kenyamanan pada bayi.
Ia berharap agar inkubator ini bisa benar-benar terealisasikan karena belum ada inkubator multifungsi yang dilengkapi dengan fototerapi dan ayunan mekanis serta dapat dimonitoring oleh smartphone dan personal computer melalui web.
“Kami ingin agar alat ini dapat membantu bidan maupun petugas rumah sakit dalam memberikan penanganan pada bayi baik itu yang normal, prematur, maupun bayi kuning.” Harap mahasiswi angkatan 2019 itu mewakili tim.
Dalam pembuatannya, Rafa bekerjasama dengan kelima rekannya, Mochammad Rofi Sanjaya, Ajeng Kusuma Dewi, Muhammad Yogi Nurrohman, Andi Nurul Isri Indriany Idhil, Monika Ayu Puji Anggraini dengan dosen pembimbing Rahmadwati, S.T.,M.T.,Ph.D.
Tim ini akan berjuang bersama delapan belas tim lainnya dari FT mewakili UB ke Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXXIII 2020 November mendatang.
“Rawat bayi setulus hati dengan inkubator multifungsi, Indonesia sehat abadi.” begitulah tagline tim Rafa Raihan Fadila. (rrf/mic/Humas UB)