Simbiot, Inovasi Deteksi Tipes Berbasis IoT Inovasi Mahasiswa UB

SIMBIOT
SIMBIOT

Demam tifoid atau yang lebih sering dikenal tipes merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Tipes masih sering dijumpai di negara berkembang yang terletak di daerah subtropis dan daerah tropis seperti Indonesia.

Data infeksi demam tifoid di Indonesia cukup tinggi yaitu mencapai 500 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Gejalanya meliputi demam berkepanjangan, kelelahan, sakit kepala, mual,
sakit perut, dan sembelit atau diare. Kasus yang parah dapat menyebabkan komplikasi serius atau bahkan kematian.

Hal ini menjadi dasar kolaborasi antara
mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, melalui Simbiot. Simbiot digagas oleh Jordy Billionis Musa Napitupulu, Benny Dewantoro, Kevin Alexander Simbolon, Az Zahra Putri Henata, Vitry Aisyah Ramadhani dan Sulthana Aulia Yasmine yang dibimbing oleh Eka Maulana, S.T., M.T., M.Eng., dan dr. Yuanita Mulyastuti, M.Si.

Tim PKM-KC SIMBIOT
Tim PKM-KC SIMBIOT

Vitry selaku anggota tim menuturkan bahwa metode pengujian typhus yang awam digunakan adalah metode semi kuantitatif. “Oleh karena itu, kami berupaya untuk mengembangkan alat
yang dapat memberikan hasil secara kuantitatif sehingga diharapkan hasilnya lebih akurat”, jelas mahasiswi FK ini.

Simbiot bekerja dengan mengadaptasikan metode tes TUBEX TF yakni dengan mendeteksi antibodi melalui kemampuannya untuk memblokir ikatan antara reagent monoclonal anti-O9 S. typhi (antibody-coated indicator particle) dengan reagen antigen
O9 S. typhi (antigen-coated magnetic particle) sehingga terjadi pengendapan dan perubahan warna. Range perubahan warna akibat endapan antigen-antibodi tersebut
akan dibaca dengan melakukan penembakan cahaya panjang gelombang 400nm.

Alat ini menggunakan cairan Antigen Magnetic Particle sebagai reagen dan hasil tes
akan terhubung dengan aplikasi berbasis Internet Of Things terintegrasi Fuzzy Logic.

Kedepannya diharapkan Simbiot siap menjadi wajah baru dalam dunia kesehatan di Indonesia. ”Simbiot berhasil meraih pendanaan PKM 2024 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia”, terangnya.

Simbiot bekerja dengan mengadaptasikanmetode TUBEX TF yang dikolaborasikan dengan prinsip pembacaan ELISA Reader Vis-Light,   Hasil pembacaan nantinya akan ditampilkan melalui layar LCD dan data juga akan dikirimkan ke mobile application smartphone tenaga kesehatan serta pasien.

Proses penelitian, pembuatan, dan pengembangan alat ini dilakukan di Laboratorium Elektronika, Fakultas Teknik dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya sejak bulan April hingga Agustus 2024

Jordy, selaku ketua tim, mengatakan bahwa Simbiot merupakan inovasi baru dalam menghadapi persoalan demam tifoid yang melanda Indonesia. Simbiot memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan alat spektrofotometri yang sudah ada sebelumnya
sehingga mudah untuk dibawa ke mana pun. Alat ini juga memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi sehingga dapat mendiagnosa pasien dengan lebih tepat dan dapat membantu tenaga medis dalam mengambil tindakan medis.

“Dengan ukuran yang lebih kecil dan penggunaannya yang praktis dan mudah, maka diharapkan Simbiot dapat dimanfaatkan oleh pihak puskesmas dan rumah sakit di daerah-daerah yang kurang terjangkau sebagai alat deteksi dini yang akurat, aman,
dan terjangkau oleh semua kalangan”, jelas Jordy. (Jordy/VQ)