Gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dijadwalkan mulai berlaku pada (19/1/2025) dinilai sebagai tonggak penting dalam upaya perdamaian di Timur Tengah. Kesepakatan yang dimediasi oleh Qatar dan didukung Amerika Serikat ini mencakup pertukaran tahanan dan pengurangan militer secara bertahap di Jalur Gaza, membawa harapan baru bagi stabilitas di kawasan tersebut.
Setyo Widagdo, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), menyebut kesepakatan ini sebagai peluang penting untuk menghentikan konflik berkepanjangan.
“Gencatan senjata ini adalah langkah maju yang patut diapresiasi, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen kedua belah pihak untuk menjalankan perjanjian secara konsisten,” ujar Setyo.
Dia menambahkan, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa gencatan senjata sering kali hanya bertahan sementara akibat kurangnya kepercayaan.
Detail Kesepakatan
Perang selama 15 bulan sejak Oktober 2023 telah menimbulkan kerugian besar di kedua pihak. Kesepakatan yang diumumkan ini terdiri dari beberapa fase penting, yaitu pertama pertukaran tahanan: Hamas akan membebaskan 33 sandera, termasuk wanita, anak-anak, dan korban luka, dengan imbalan ratusan tahanan Palestina yang ditahan Israel; kedua, penarikan Militer: Israel akan menarik pasukannya secara bertahap dari Gaza. Selama proses ini, bantuan kemanusiaan akan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan warga Gaza yang terdampak konflik; ketiga Rekonstruksi Gaza: Rencana rekonstruksi akan diawasi komunitas internasional untuk memastikan bantuan sampai kepada masyarakat yang membutuhkan, sekaligus mencegah penyalahgunaan yang dapat memicu eskalasi kembali.
Setyo menilai bahwa mekanisme pertukaran tahanan dan penarikan militer akan menjadi elemen paling krusial.
“Implementasi di lapangan sering kali menghadapi kendala teknis maupun politis. Karena itu, pengawasan internasional harus dilakukan secara ketat,” katanya.
Harapan dan Tantangan
Meskipun kesepakatan ini membawa harapan, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah ketidakpercayaan mendalam di antara kedua belah pihak, yang dapat memicu insiden kekerasan sporadis. Selain itu, memastikan semua faksi di Gaza mematuhi gencatan senjata juga menjadi tugas berat.
Setyo menegaskan jika Hamas memanfaatkan gencatan senjata untuk menyusun kekuatan kembali, atau jika Israel ingkar janji dengan alasan keamanan, maka konflik bisa kembali memanas.
“Penting bagi komunitas internasional untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas di kedua pihak,” katanya.
Presiden terpilih AS, Donald Trump, yang mendorong percepatan kesepakatan sebelum pelantikannya pada 20 Januari 2025, menyebut bahwa kegagalan gencatan senjata akan membawa dampak serius bagi kedua belah pihak. Sementara itu, Presiden Joe Biden menyatakan bahwa perjanjian ini sejalan dengan usulan perdamaian yang dia ajukan pada Mei 2024 dan didukung Dewan Keamanan PBB.
Dia menambahkan, gencatan senjata ini memberikan secercah harapan bagi masyarakat Gaza dan Israel yang telah lama menderita akibat konflik. Selama perang, warga Gaza menghadapi krisis kemanusiaan yang parah, termasuk minimnya akses air bersih, listrik, dan layanan kesehatan. Di sisi lain, warga Israel hidup dalam ketakutan akibat serangan roket yang terus menghantui.
Setyo mengatakan bagi warga Gaza dan Israel, gencatan senjata ini harus menjadi awal dari upaya menciptakan kehidupan yang lebih aman dan bermartabat.
“Upaya rekonstruksi yang efektif dan berkelanjutan dapat menjadi landasan penting untuk membangun kepercayaan,” katanya.
Gencatan senjata Israel-Hamas yang dimulai pada 19 Januari 2025 ini diharapkan menjadi langkah signifikan menuju perdamaian berkelanjutan di Timur Tengah. Namun, seperti diingatkan Setyo Widagdo, implementasi kesepakatan harus dilakukan dengan hati-hati.
“Tanpa komitmen kuat dan pengawasan yang memadai, kesepakatan ini berisiko menjadi sekadar jeda sementara dari konflik berkepanjangan,” tutupnya. (rma/humas FH/Humas UB)