Pembangunan pertanian perlu diarahkan untuk mendorong terciptanya peningkatan pendapatan petani, membuka kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan serta mampu bersaing di pasar global. Hal ini dapat dilakukan apabila petani diberi kesempatan dan mau terlibat dalam berbagai aktivitas untuk meningkatkan nilai tambah di sektor pertanian yang disebut sebagai industrialisasi pertanian. Demikian disebutkan Ir. Ratya Anindita, MS., PhD. dalam pidato ilmiah bertajuk “Industralisasi Pertanian: Suatu Perspektif Menuju Pertanian yang Tangguh”. Pembacaan pidato ilmiah ini diselenggarakan pada Rapat Terbuka Senat Universitas Brawijaya, Senin (5/1) di Sasana Samanta Krida. Industrialisasi pertanian, menurutnya menuntut sektor pertanian menjadi pertanian yang tangguh yaitu pertanian yang secara dinamis dan ulet mampu secara optimal memanfaatkan sumber daya alam, tenaga, modal dan teknologi yang ada pada lingkungan fisik dan sosial tempatnya berpijak, yang sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani dalam arti luas.Perubahan Paradigma
Menuju industrialisasi pertanian, Anindita menegaskan perlunya perubahan paradigma. Menurutnya, desentralisasi daerah yang melimpahkan konsentrasi pemerintah pusat pada kontrol ketidakseimbangan makro ekonomi (inflasi, hutang, neraca pembayaran, dll) telah mendorong pemerintah daerah untuk lebih fokus terhadap pembangunan daerah yang mendorong pengembangan potensi lokal. Model yang tepat untuk momentum desentralisasi ini menurutnya adalah Local Decentralized Industrialization yaitu sebuah proses yang timbul, berkembang dan kematangannya didasarkan atas kombinasi yang dilakukan oleh pemerintah dan kemampuan sumber daya alam atau potensi daerah. Melalui model ini, menurutnya kapasitas entrepreneurship, upah tenaga kerja yang kompetitif serta pengetahuan praktis tentang produk dan pasar merupakan faktor utama berkembangnya industrialisasi lokal. “Industrialisasi lokal di Indonesia yang didasarkan atas potensi ekonomi lokal dapat mendorong terjadinya industrialisasi pertanian karena sumberdaya utama di Indonesia adalah sektor pertanian”, kata dia. Berkaitan hal tersebut, ia pun menegaskan saatnya Indonesia untuk merubah paradigma strategi pembangunan kearah pengembangan ekonomi lokal yang berorientasi kepada industrialisasi pertanian dengan mengutamakan usaha ekonomi skala kecil.
Konsep Industrialisasi Pertanian
Secara konseptual, Anindita menjelaskan, industrialisasi pertanian merupakan perubahan dari pertanian tradisional menuju pertanian modern yang memiliki nilai tambah. Aplikasi dari industrialisasi pertanian ini, dikatakannya, menuntut perubahan yang signifikan dari modernisasi produksi manufaktur yang merupakan kegiatan untuk mentransformasikan produk dari petani ke tujuan akhir konsumen (yang meliputi kegiatan produksi dan prosesing) serta modernisasi distribusi dan koordinasi dalam rantai pasar pertanian.
Dalam industri pertanian, dijelaskannya, sangat penting untuk mengidentifikasi aktivitas nilai tambah yang akan mendukung investasi yang diperlukan melalui riset di aspek pemasaran dan pengolahan, aplikasi bioteknologi, rancang bangun serta restrukturisasi sistem distribusi. “Sebagai contoh, seorang petani menanam pohon aren kemudian menghasilkan gula atau sirup yang disukai konsumen, maka, dalam hal ini petani seharusnya berfikir bahwa ia adalah anggota dari suatu perusahaan yang memproses dan memasarkan produknya ke konsumen”, kata dia. “Kemajuan teknologi akan memberikan informasi agar produksi pertanian menjadi lebih tepat mengikuti keinginan konsumen”, tambahnya.
Dengan sistem yang berbasis pasar (market oriented system), dijelaskannya, petani tidak lagi memproduksi dan kemudian melihat pasar untuk menjual, akan tetapi mengontrol keinginan konsumen yang akan menjadi keputusannya dalam berproduksi. “Selama ini terjadi kesenjangan antara supply and demand berkaitan dengan kontradiksi antara imajinasi produsen dan konsumen yang mempunyai berbagai selera dan pilihan”, kata dia. “Pada proses awal industrialisasi pertanian, memahami kontradiksi ini mempunyai peranan yang besar sehingga langkah proses produksi dan pemasaran terkait secara kuat sehingga produksi pertanian bermuara ke konsumen secara tepat”, ujarnya.
Di tingkat petani, dijelaskan Anindita, model pengembangan skala usaha kecil dapat dilakukan melalui model kerjasama antar petani ataupun petani dengan pelaku bisnis lain seperti contract growing, leasing arrangements, joint venture ataupun melalui koperasi.
Kendala dan Strategi
Beberapa kendala mendasar menuju industrialisasi pertanian, dipaparkannya meliputi mahalnya supply input (pupuk, dll) serta belum dianggapnya petani sebagai satu kesatuan dalam sistem agroindustri ataupun dalam sistem birokrasi. Selain itu, kendala lain disebutkannya adalah jaringan pemasaran dan aktivitas nilai tambah yang masih lemah, sistem pertanian yang masih tradisional serta akses pelaku ke supporting system (lembaga pemerintah, lembaga swasta, lembaga keuangan dan lembaga pendidikan/penelitian) dalam sistem agribisnis yang masih lemah. Berkaitan hal tersebut, maka ia pun memaparkan tujuh strategi menuju industrialisasi pertanian yaitu peningkatan koordinasi antara Departemen Pertanian dengan Departemen Industri dan Perdagangan atau peningkatan wewenang Departemen Pertanian untuk melaksanakan program industrialisasi pertanian secara utuh, peningkatan aktivitas kerjasama dalam kelompok tani untuk meningkatkan aktivitas nilai tambah, peningkatan kemampuan petani dalam manajemen, teknologi tepat guna dan kewirausahaan, peningkatan supply chain management dari produsen ke konsumen, pemetaan potensi pertanian dan klaster agroindustri yang mampu memberikan kompetensi inti bagi perekonomian di berbagai kota/kabupaten, meningkatkan kerjasama di antara petani ataupun antara petani dengan pelaku bisnis di sektor agroindustri serta mengembangkan dan menerapkan berbagai model agroindustri yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan aktivitas nilai tambah terutama di bidang pemasaran, teknologi prosesing dan manajemen.
—
Ir. Ratya Anindita, MS., PhD. dilahirkan di Malang 47 tahun yang lalu. Menikah dengan Ir. Eny Handayani, MS. dan dikaruniai dua orang putera puteri, Azizah Danniswara dan Fariz Danadyaksa. Sejak tahun 1986 sampai sekarang ia adalah Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dengan pangkat terakhir, Pembina IV/a dan jabatan Lektor Kepala. Sarjana Ekonomi Pertanian FP UB (1985) dan magister KPK UGM-UB (1995) ini menyelesaikan program doktoral di College of Economics and Management-University of the Philipinnes Los Banos (2002).
Berbagai penghargaan yang pernah diterimanya meliputi Certificate of Achievement, SEAMEO Regional Centre for Graduate Study and Research In Agriculture (SEARCA) (2002), Satya Lencana Kesetiaan 10 tahun (2004), Scholarship Award for CGE Modelling, Bangkok (2004) dan Scholarship Award on MPSGE (Mathematical Programming for General Equilibrium) Workshop in Duisburg University, Germany (2005).
Selama karier akademiknya, ia telah menghasilkan 5 buah buku, 16 artikel dan hasil penelitian yang dipublikasikan serta 28 artikel dan hasil penelitian yang tidak dipublikasikan. [nok]