Diskusi terbatas tentang industri gula nasional telah dilaksanakan di Kantor Menristek, Jakarta, Rabu 19 Januari 2005. Diskusi terbatas yang dibuka oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi ini merupakan diskusi antar Iembaga terkait yang menangani gula nasional dan diikuti oleh para pejabat eselon I dan II dari Dewan Gula Indonosei (DGI), Departemen Pertanian, BPPT, Departemen Perdagangan, Kantor Kementerian BUMN, Departemen Keuangan, dan para undangan lain yang dianggap mengetahui seluk beluk pergulaan nasional.
Prof. Dr. Ir. Soekartawi, dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya merupakan salah satu peserta yang diundang, dan ia merupakan satu-satunya pakar dari kalangan perguruan tinggi Jawa Timur yang hadir di forum tersebut. Menurut penjelasannya, ia diundang karena dianggap mengetahui banyak soal pergulaan nasional, seperti yang beberapa kali ia sampaikan di berbagai kesempatan dan bahkan ditulis di berbagai media massa.
Menurut Soekartawi, industri gula sekarang ini memang telah mencapai tahap yang memprihatinkan, dan kalau tidak segera diatasi, maka industri gula nasional pelan-pelan akan gulung tikar. Soekartawi melihat paling tidak ada lima indikator yang mendukung pernyataannya. (1) Dilihat dari jumlah pabrik gula (PG), dahulu kita pernah mernpunyai 179 PG kini tinggal sekitar 58 saja. Bahkan selama 5 tahun terakhir, tidak tanggung-tanggung, 13 PG harus menutup usahanya. (2) Dilihat dari rendemen tebunya, dahulu kita pernah mencapai 14%, kini hanya sekitar rata-rata 7%, dan bahkan PG dengan rendemen di bawah itu. Karena itu produksi gula juga menurun sekitar 36% selama 10 tahun terakhir. (3) Dilihat dari Iuas areal tanam tebu, juga menurun drastis, dari sekltar 429 rlbu hektar pada tahun 1994 turun menjadi 336 ribu hektar pada tahun 2003 atau turun sebesar 22% selama 10 tahun terakhir. (4) Dilihat dari produktivitas tebu (produksi per hektar) juga turun sekltar 10%. (5) Gula yang diimpor juga terus menaik dan bahkan mencapai 11 kali lipat atau 1110% selama 10 tahun terakhir. Padahal kita pernah swasembada pada zaman Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang lalu, walaupun hanya sekali saja.
Data bukan angka
Selanjutnya, Soekartawi juga menjelaskan bahwa data di atas adalah kalau ditunjukkan dengan angka statistik. Masih ada data lagi yang sulit dijelaskan secara angka, namun peranannya besar sekali terhadap jatuh bangunnya industrl gula nasional sehingga variabel ini juga berperan sebagai pemacu semakin runyamnya industri gula nasional. Data ini antara lain, adalah kurang terbukanya penentuan rendemen yang diperoleh PG, kurangnya hubungan industrial yang baik antara petani tebu dan PG, dan kurangnya koordinasi instansi terkait.
Soekartawi juga menyarankan di dalam pertemuan itu, agar forum dlskusi terbatas antar Iembaga terkait yang terlibat dalam pengembangan gula nasional ini juga diadakan secara rutin agar kekakuan-kekakuan hubungan antar lembaga terkait bisa dihindarkan. Ia juga menyarankan agar forum tersebut juga dilakukan di tingkat provinsi karena permasalahan gula seringkali spesifik, di mana di masing-masing provinsi berbeda permasalahannya. [SKW]