PERSADA UB Perkuat Kolaborasi Internasional dalam Kajian Peradilan Pidana di Asia

Foto Fachrizal Bersama Prof Yuzuru Shimada Memabahas Presentasi Proposal Kolaborasi Riset Terkait Reformasi Kepolisian
Foto
Fachrizal Bersama Prof Yuzuru Shimada Memabahas Presentasi Proposal Kolaborasi Riset Terkait Reformasi Kepolisian

Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), Fachrizal Afandi, bersama Sekretaris Ladito R. Bagaskoro, menghadiri konferensi tahunan Asian Law and Society Association (ALSA) pada (13/12–14/12/2024) yang diadakan di Sungkyunkwan University, Korea Selatan. Dalam kesempatan ini, PERSADA UB memperkuat jejaring dengan akademisi hukum pidana dari berbagai negara di Asia melalui partisipasi aktif dalam sesi panel yang membahas isu-isu krusial dalam sistem peradilan pidana dan reformasi hukum.

Konferensi berlangsung di Universitas Sungkyunkwan (SKKU), merupakan salah satu institusi pendidikan tertua di Asia yang telah berdiri lebih dari 600 tahun. Didirikan pada tahun 1398, SKKU memiliki sejarah panjang sebagai pusat pembelajaran dan inovasi, menjadikannya tempat yang tepat untuk diskusi mendalam tentang hukum dan masyarakat di Asia.

Sambutan pembukaan konferensi diberikan oleh Prof. Yoshitaka Wada, Presiden ALSA dan akademisi dari Waseda University Law School Jepang, yang menyoroti pentingnya kolaborasi lintas negara dalam memajukan kajian hukum dan masyarakat di Asia. Sambutannya memberikan kerangka diskusi strategis bagi para peserta konferensi. Dalam pidato pembukaan, Prof. Chulwoo Lee dari Yonsei University Law School, Korea Selatan  menyampaikan keynote speech bertema “Charting the Uncharted: The Early Days of the Critical Law and Society Movement in Korea”, yang menginspirasi dialog mengenai dinamika awal gerakan hukum kritis di Korea.

Konferensi ini menghadirkan berbagai sesi menarik yang membahas isu-isu penting dalam sistem peradilan pidana. Di setiap sesi, terdapat tujuh panel yang membahas secara komprehensif perkembangan hukum pidana. Salah satunya adalah pada sesi Criminal Justice & Reform  diskusi mencakup evaluasi kitab Undang-Undang  hukum pidana yang baru berlaku Juli 2024 di India oleh Vaibhav Chadha dari OP Jindal Global University, kajian terhadap praktik racial profiling di Jepang oleh Moe Miyashita, serta analisis empiris terhadap hubungan seimbang yang unik antara penyidik dan pengacara dalam proses interogasi tersangka di Korea Selatan oleh Myeonki Kim dari Korean National Police University. Fachrizal menekankan bahwa pendekatan empiris ini menjadi referensi penting untuk meningkatkan praktik peradilan pidana di Indonesia.

Selain itu  pembahasan mendalam dari Wang Yu, yang menyampaikan studi empiris tentang hukuman bagi pelaku dengan gangguan mental dalam sistem peradilan pidana Tiongkok, serta Jiang Jize dari Tongji University yang mengeksplorasi politik rehabilitasi dalam sistem pemenjaraan di masyarakat di Tiongkok modern. Ladito menyoroti pentingnya studi ini untuk memahami bagaimana pendekatan berbasis komunitas dapat meningkatkan integrasi pelaku ke dalam masyarakat.

Pada sesi lainnya, diskusi melibatkan topik-topik inovatif seperti peran Citizen Judges Act di Taiwan yang dipaparkan oleh Shao Hsueh Chen dari National Taiwan University. Topik ini membahas adaptasi konsep pengadilan juri dari Jepang ke konteks Taiwan. Selain itu, Huang Cheng dari China Jiliang University memperkenalkan kajian tentang efek praktis dari penerapan pengadilan berbasis AI di Tiongkok dan negara lain. Fachrizal mencatat bahwa teknologi AI menawarkan peluang baru, tetapi juga tantangan besar yang memerlukan pengawasan dan regulasi yang ketat.

Sesi Judicial Reform and Public Participation in Justice in East Asia membahas asal-usul sistem administrasi yudisial di Korea Selatan, Brasil, dan Spanyol, yang dipresentasikan oleh Yeongshin Nam dari Korean Institute of Criminology and Justice. Diskusi ini juga memperkenalkan bagaimana proses reformasi peradilan pidana dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses hukum.

Fachrizal menyampaikan bahwa inklusi publik dalam proses reformasi hukum merupakan salah satu langkah yang dapat digunakan untuk meningkatkan peradilan yang responsif dan berkeadilan.

Dalam sesi yang membahas teknologi kecerdasan buatan dalam hukum, Eugene Tan dari Singapore Management University mengupas pentingnya mengembangkan kepercayaan dalam penggunaan AI melalui nilai-nilai etis.

Diskusi ini diperkuat oleh kontribusi dari Huang Cheng dari China Jiliang University, yang tidak hanya membahas penerapan teknologi AI dalam pengadilan di Cina tetapi juga membandingkannya dengan penerapan AI di Amerika Serikat. Huang menjelaskan bahwa Cina telah memanfaatkan AI untuk mendukung pengambilan keputusan di pengadilan tingkat pertama, sementara di Amerika Serikat, AI lebih sering digunakan sebagai alat prediktif untuk membantu jaksa dan pengacara dalam menentukan kemungkinan keberhasilan kasus

Ladito juga menghadiri sesi yang membahas Lawyer’s Misconduct and Disciplinary Action in South Korea oleh JaeWon Kim dari Sungkyunkwan University.  Selain itu Prof. Akira Fujimoto dari Nagoya University, yang berfokus pada pendidikan hukum dan perbandingan hukum. Prof. Fujimoto menyoroti perlunya pendekatan inovatif dalam pembelajaran hukum untuk menjawab tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi. Sesi ini menyoroti tantangan dalam memastikan integritas profesional pengacara dan pentingnya sistem disiplin yang kuat untuk membangun kepercayaan publik. Diskusi ini, menurut Ladito, relevan bagi Indonesia untuk mendorong profesionalisme dalam profesi hukum.

Pada hari terakhir konferensi, keynote reflections oleh Prof. Sarah Biddulph, Direktur Asian Law Centre dari University of Melbourne, menutup rangkaian acara. Dalam pidatonya bertajuk “How Law Really Matters: Contributions from Young Law and Society Scholars”, Prof. Biddulph menyoroti peran penting para akademisi hukum muda dalam menghubungkan kajian hukum dengan perubahan sosial yang relevan di Asia. Refleksi ini memberikan inspirasi bagi peserta untuk tterus melakukan kolaborasi dan inovasi dalam pengembangan ilmu hukum lintas disiplin di Asia.

Selain menghadiri rangkaian konferensi, Fachrizal dan Ladito memanfaatkan kesempatan ini untuk menjalin kolaborasi riset dengan akademisi terkemuka. Mereka berkunjung ke Nagoya University, Jepang bertemu dengan Prof. Yuzuru Shimada, guna melakukan penjajakan kerja sama penelitian tentang reformasi kepolisian. Fachrizal dan Ladito juga menjalin diskusi dengan sejumlah akademisi terkemuka, termasuk Prof. Ann Black dari University of Queensland, yang dikenal dengan kajiannya tentang perbandingan hukum pidana dan konstitusi, dengan Daniel Pascoe dari City University of Hong Kong, yang dikenal dengan kajiannya tentang sistem hukum pidana dan pelaksanaan hukuman mati di Asia Tenggara. Diskusi ini membuka peluang kolaborasi riset dalam memahami tantangan penegakan hukum di kawasan tersebut.

Partisipasi PERSADA UB dalam ALSA 2024 memperkuat komitmen peneliti hukum interdisipliner dari Universitas Brawijaya dalam memajukan ilmu hukum pidana dan sistem peradilan pidana di tingkat global sekaligus membangun jejaring strategis dengan para pakar hukum dari berbagai negara. Fachrizal berharap hasil dari konferensi ini dapat menjadi bahan refleksi dalam pengembangan kebijakan hukum pidana di Indonesia. (*/Humas UB).