Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) menyelenggarakan workshop Linguistik Forensik dan Psikologi Forensik pada Sabtu (7/8/2021). Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi praktisi, akademisi hukum, dan penstudi lain termasuk ilmu forensik.
Mengingat penerapan Linguistik Forensik dan Psikologi Forensik dapat membantu proses peradilan pidana terkait otopsi piskologi, wawancara, investigasi pelaku, hingga melakukan criminal profiling, sehingga Jpenting bagi para praktisi maupun akademisi untuk mengetahui lebih dalam bagaimana ilmu forensik bekerja sebagai ilmu bantu dalam hukum pidana.
Workshop yang dihadiri sekitar 400 peserta secara daring ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Fachrizal Afandi, PhD – Ketua PERSADA UB, Nur Indah Jazilah, MA ahli Linguistik Forensik dan Nael Sumampouw, M,Psi, Psikolog forensik, pengurus APSIFOR.
Alex Argo Hernowo, S.H dalam sambutannya mengatakan keberadaan ilmu forensik bagi praktisi merupakan suatu hal yang menarik, karena kehadiran ilmu forensik mampu menggali lebih jauh terkait dengan kebenaran suatu keterangan-keterangan yang disampaikan oleh saksi atau terdakwa dalam persidangan.
Dalam proses penyidikan maupun dalam pemeriksaan saksi dalam persidangan tidak sedikit terbawa dalam sebuah opini bahwa pengungkapan kebenaran itu tidak berdasarkan fakta.
Sehingga ilmu forensik dapat membantu terkait dengan pembuktian apakah sebuah keterangan saksi dan tersangka di persidangan telah sesuai dengan fakta.
Nur Inda Jazilah, M.A mengatakan dalam proses hukum terutama proses persidangan, linguistik forensik sangat diperlukan dan menjadi salah satu ilmu bantu untuk penyelesaian suatu kasus.
“Linguistik forensik digunakan pertama kali oleh Jan Svartvik, PhD pada laporannya dalam kasus Timothy Jhon Evans di tahun 1968. Kasus tersebut mengawali ditemukannya linguistic fingerprint yang diartikan bahwa setiap orang memiliki formulasi kalimat yang berbeda-beda termasuk dalam penulisan kata dan penggunaan tanda baca,”kata Nur Inda.
Dalam penyidikan kasus tersebut ditemukan adanya indications of editing yaitu pernyataan yang dikemukakan tersangka tidak sama dengan apa yang dituliskan penyidik dalam Berita Acara Penyidikan (BAP).
Hal tersebut menjadi salah satu permasalahan dalam sistem peradilan di Indonesia, dimana dimungkinkan adanya campur tangan penyidik dalam penulisan Berita Acara Penyidikan (BAP) yang menyebabkan perbedaan keterangan antara pernyataan tersangka dengan laporan BAP.
Dari sisi psikologi Nael Sumampouw, M.Psi.,M.Sc., psikolog Universitas Indonesia mengatakan terdapat perbedaan tentang bagaimana cara penyidik dalam memeriksa suatu kasus.
Dia mengatakan perbedaan ini ditimbulkan dikarenakan adanya perbedaan lingkungan dan perilaku, misalnya penyidik yang terbiasa menonton serial CSI akan cenderung kritis dan memiliki pemikiran layaknya serial CSI dalam memeriksa kasus yang ditanganinya.
Oleh karena itu, psikologi forensik digunakan dalam proses peradilan untuk melihat apakah keterangan saksi, korban bahkan penyidik hukum adalah credible atau tidak.
Pengurus Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) ini mengatakan perlu keterlibatan seorang psikolog dalam suatu proses peradilan tidak hanya pada saat keterangan saksi ahli, namun sudah seharusnya seorang psikolog dapat mengikuti perjalanan suatu kasus agar dapat memberikan saran dalam suatu kasus.
Hal tersebut juga dapat mengurangi timbulnya miscarriage justice (kasus salah hukum). Miscarriage justige ini dapat timbul disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) Kesaksian palsu; (2) Pengakuan palsu; (3) Misconduct, salah prosedur, bias; (4) Pre-trial publicy (kasus terpublikasi sebelum persidangan).
Hal penting lainnya yang diungkapkan oleh Nael Sumampouw adalah memori, yang dalam pemaparannya mengatakan bahwa “memori bekerja seperti kamera recorder yang merekam apa adanya dan mampu memutar kembali peristiwa tersebut”.
Dalam perkembangannya suatu peristiwa hukum cenderung terjadi dimasa lampau yang kemudian diperiksa dimasa sekarang, sehingga terdapat jeda antara waktu tersebut yang menyebabkan banyak hal yang terjadi dan menjadikan memori lebih relevan. Karena itulah diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis keterangan dalam proses penegakan hukum.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Fachrizal Afandi, PhD mengatakan sistem peradilan pidana didefinisikan sebagai jejaring/ networking pemerintah yang memiliki tujuan untuk memanage atau mengelola proses pemidanaan tersangka atau terdakwa.
Sehingga basis sistem peradilan pidana terdapat berbagai pilar yang saling terkait yang terdiri dari penegak hukum, ahli forensik, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan.
Sistem peradilan pidana ditujukan untuk mengatur dan mengelola terpidana dan tersangka dengan menjaga sebuah keamanan, ketertiban serta penghargaan terhadap Hak asasi manusia.
Peran ahli terkhusus pada ahli bidang forensik dibutuhkan untuk memberikan keterangan serta menarasikan atas sebuah barang bukti agar dapat menjelaskan fakta atas kebenaran materiil.
Ilmu forensik sebagai suatu aplikasi dari prinsip saintifik dan teknologi dalam proses hukum, dimana metode saintifik digunakan sebagai dasar dalam menganalisa bukti, informasi dan data yang dikumpulkan dari bukti yang kemudian digunakan selama proses hukum dalam semua tingkatan peradilan.