Panen Raya Picu Surplus Beras, Pemerintah Bisa Lakukan Ekspor Selektif

Dr. Sujarwo, S.P., M.P.,
Dr. Sujarwo, S.P., M.P.,

Indonesia mencatat surplus beras signifikan pada musim panen raya Maret hingga Mei. Dr. Sujarwo, S.P., M.P., pakar agribisnis Universitas Brawijaya, menyebut bahwa fenomena ini merupakan siklus tahunan akibat puncak produksi gabah nasional.

“Pada bulan-bulan ini, supply gabah melimpah jauh melampaui permintaan. Ini peluang besar bagi pemerintah untuk memperkuat stok pangan nasional hingga 3 juta ton atau lebih,” jelas Dr. Sujarwo, Kamis (6/5/2025).

Menanggapi wacana ekspor beras, ia mendukung langkah tersebut dengan syarat ekspor beras dilakukan secara selektif. “Ekspor sah-sah saja, tapi utamakan beras premium yang punya daya saing di pasar internasional. Jangan sampai ekspor mengganggu ketersediaan pangan domestik yang jadi prioritas utama,” katanya.

Ia mengingatkan di ranah domestik ketika terjadi surplus tanpa penyerapan aktif dapat memicu penurunan harga gabah yang merugikan petani. “Hukum pasar berlaku: saat supply tinggi dan demand tetap, harga jatuh. Pemerintah harus hadir lewat Bulog untuk menyerap gabah agar harga tetap stabil di kisaran Rp6.500 per kilogram,” paparnya.

Selain soal harga, Dr. Sujarwo menyoroti perlunya reformasi kelembagaan di sektor pertanian. Ia menekankan bahwa koperasi petani harus dibangun atas dasar kesadaran anggota, bukan hanya proyek pemerintah. “Kalau koperasi hanya berdiri karena ada bantuan, biasanya mati begitu bantuan selesai. Kita harus mencontoh model koperasi di negara maju seperti Jepang dan Selandia Baru,” tegasnya.

Dr. Sujarwo juga mengingatkan pentingnya menjaga daya dukung lahan pertanian di tengah masifnya alih fungsi lahan. Ia menilai konsep Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) harus dihidupkan secara serius, disertai praktik pertanian berkelanjutan seperti regenerative farming. “Tidak cukup hanya bergantung pada surplus tahunan. Kita harus membangun fondasi produksi yang kuat dan berkelanjutan,” ujarnya.

 

Prof. Setyo Tri Wahyudi, SE., M.Ec., Ph.D.
Prof. Setyo Tri Wahyudi, SE., M.Ec., Ph.D.

Sedangkan menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB, Prof. Setyo Tri Wahyudi, SE., M.Ec., Ph.D. surplus beras ini dapat diartikan secara positif dan negatif. “Berdasarkan teori supply dan demand, pasokan beras di pasar yang melebihi permintaan akan menurunkan harga gabah secara drastis. Kondisi ini akan merugikan petani berupa menurun/mengurangi margin keuntungan petani. Tapi, ditingkat konsumen seperti rumah tangga, berdampak positif karena terjadi penurunan atau stabilisasi harga beras,” tuturnya.

Sedangkan terkait ekspor, sebagaimana Sujarwo, ia setuju dilakukan ekspor terbatas ke negara-negara yang membutuhkan untuk mengurangi tekanan pasokan dalam negeri sambil tetap menjaga kebutuhan domestik. Serta pemberdayaan petani dalam rantai nilai dan jaminan harga minimum melalui kontrak framing dan integrasi sistem e-logistik, keterlibatan koperasi petani dan BUMDes, serta kebijakan komunikasi publik yang efektif agar tidak terjadi panic selling atau penimbunan oleh spekulan.

“Dengan langkah-langkah tersebut, surplus tidak akan berkemungkinan untuk mendistorsi pasar dan dapat menjadi alat pengaman ekonomi,” ujarnya.

Setyo menjelaskan, jika surplus beras nasional diasumsikan merupakan hasil produksi dalam negeri dan tidak bergantung pada impor maka kondisi stok melimpah ini akan memberikan kontribusi positif untuk perekonomian Indonesia. “Secara makroekonomi, keberadaan cadangan beras yang kuat dapat mendukung stabilitas harga pangan dalam jangka panjang hingga menengah, yang merupakan komponen penting dalam pengendalian inflasi,” kata Setyo.

Di sisi lain, apabila surplus tidak dapat diserap pasar akan menimbulkan overproduction trap, yaitu kondisi ketika produksi melampaui kapasitas pasar dan mengakibatkan kerugian struktural pada produsen. “Dalam konteks ini, surplus tidak otomatis berarti kesejahteraan apabila distribusinya tidak terkelola secara efisien,” tambahnya.

Setyo juga menjelaskan bahwa jika kemungkinan overproduction trap ini dapat diatasi melalui intervensi kebijakan yang tepat seperti sistem buffer stock, ekspor terukur, dan distribusi sosial. Stakeholder (pemerintah, Bulog, dan pelaku pasar) harus menerapkan kebijakan penyerapan dan distribusi yang adaptif. [RST/AND/AIK]