
Mei dikenal sebagai bulan Kesadaran Kesehatan Mental. Dalam momen ini Pakar Psikologi Perkembangan Universitas Brawijaya (UB) Ziadatul Hikmiah, S.Pd., S.Psi., M.Sc. turut menyuarakan pandangannya terkait pentingnya kesadaran kesehatan mental, terkhusus bagi anak, melalui wawancara pada (07/05/2025).
Zia menyampaikan, selain peran dari diri anak itu sendiri, keluarga memegang andil besar dalam tumbuh kembang mental anak. Ia merujuk pada teori Urie Brofenbrenner, di mana tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Dalam hal ini institusi keluarga menjadi microsystem penopang bagi anak. Orang tua juga harus sudah selesai dengan dirinya sendiri.
“Di institusi keluarga harus kuat, karena disitulah value, prinsip-prinsip dasar, kepercayaan, spiritual, dan normatif terbentuk. Jika di keluarga tidak kuat, maka anak dapat mudah goyah dan mengalami peer-pressure,” ujar dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB ini.

Dari sudut pandang psikologi perkembangan, ia memaparkan bahwa parenting harus melibatkan peran ibu dan ayah secara proporsional. Sebab, selama ini seringkali adanya stigma Indonesia sebagai fatherless country, meskipun demikian ia juga menilai hal tersebut tidak bisa digeneralisir.
Peran ayah sangat penting dalam meningkatkan self-esteem anak. Seorang ayah harus terlibat langsung dalam kehidupan anak, serta menunjukkan afeksi. Zia mengutip teori Father Involvement dari Finley bahwa ada dua indikator yang harus dilakukan seorang ayah terhadap tumbuh kembang mental anak, terdiri dari kualitas dan kuantitas.
”Tidak sebatas memberi nafkah, seorang ayah juga harus mampu menunjukkan afeksi secara nyata, dengan contoh sederhana menanyakan kabar atau perasaan anak sehari-hari,” pungkasnya.
Institusi pendidikan juga punya peran penting. Ia mendorong adanya kolaborasi antara pendidik dengan perguruan tinggi dalam menyelesaikan permasalahan mental anak yang semakin beragam. Ia berpesan, guru perlu terus berinovasi dalam melakukan pendekatan dalam membangun mental anak.
Zia juga tidak memungkiri bahwa adanya label sosial yang sering disematkan kepada anak, misalnya label anak nakal, seharusnya tidak dilakukan. Labelling justru menyebabkan penilaian anak terhadap diri sendiri menjadi rendah.
Tidak semua anak benar-benar sadar ketika melakukan hal yang dianggap nakal. Banyak kasus dimana ternyata anak memiliki invisible disability yang tidak ter-diagnosis, misalnya pada anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang sering dianggap nakal karena lebih aktif daripada anak sebayanya.
”Ketika anak diberikan label maka akan sangat merugikan, bahkan dalam dunia psikologi, untuk mendiagnosis dan labelling itu harus sangat hati-hati, meskipun tanda-tanda mungkin sudah terlihat,” paparnya.
Zia juga berharap adanya sinergi dan kolaborasi dengan pemerintah. Ia mendorong agar pemerintah pro terhadap kebijakan yang berbasis dengan evidence, teori, dan akademisi. Karena kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan mental anak tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
”Saya berpesan agar anak-anak dan orang tua punya hubungan yang kuat dan positif satu sama lain. Anak-anak juga harus mengurangi tontonan sosial media yang kadang tidak selaras dengan nilai-nilai baik yang justru membuat jati diri menjadi bias,” tutupnya. [FIM/MIT]