Pakar Ekonomi : Langkah Strategis di Tengah Gejolak Global

Foto Dias Satria, S.E., M.App.Ec., Ph.D., Assistant Professor Ilmu Ekonomi FEB UB
Foto Dias Satria, S.E., M.App.Ec., Ph.D., Assistant Professor Ilmu Ekonomi FEB UB

Dalam menghadapi situasi ekonomi global yang mengalami penurunan signifikan (downturn), pemerintah Prabowo-Gibran dinilai mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional dan memacu pertumbuhan ekonomi domestik. Menurut Dias Satria, S.E., M.App.Ec., Ph.D., seorang ahli ekonomi dan Assistant Professor Fakultas Ekonomi dan Bisnis strategi pemerintah ini relevan dengan perubahan pola perdagangan internasional yang kini beralih dari multilateral ke bilateral.

Sikap Pemerintah

Dias menilai, pendekatan bilateral trade menjadi kunci di tengah situasi ekonomi global yang fluktuatif. “Perdagangan tidak lagi fokus pada multilateral, tapi bilateral. Contohnya, Indonesia sangat tergantung pada hubungan dagang dengan Amerika Serikat, yang hanya bisa dipecahkan melalui perjanjian bilateral. Begitu juga dengan Eropa, yang memiliki banyak kepentingan di Indonesia,” jelas Dias.

Menurutnya, langkah diplomatik pemerintah untuk memperkuat hubungan bilateral merupakan kebijakan strategis yang akan membawa keuntungan bagi perekonomian Indonesia.

Tantangan Ekonomi Indonesia ke Depan

Dias mengungkapkan dua fokus utama yang perlu dijalankan pemerintah Prabowo-Gibran: penyelesaian masalah mendasar ekonomi dan pengembangan ekonomi kreatif.

“Ekonomi kreatif bisa menjadi game changer bagi Indonesia. Kita punya SDM kreatif dan penguasaan teknologi yang tinggi, tapi butuh ekosistem dan kebijakan yang mendukung,” katanya.

Dia mencontohkan pentingnya hilirisasi produk UMKM yang diintegrasikan dengan penelitian universitas. “Misalnya, hasil inovasi UMKM tidak hanya meningkatkan nilai tambah, tapi juga naik kelas dengan kolaborasi riset dan pengembangan. Ini kesempatan besar bagi kampus dan anak muda untuk berperan lebih aktif,” tambah Dias.

Dampak Kebijakan Kenaikan PPN 12%

Kebijakan pemerintah yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menuai berbagai pandangan, terutama terkait daya beli masyarakat. Dias menilai bahwa kebijakan ini harus dihitung secara cermat dampaknya terhadap konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

“Secara makro, pajak memang mengurangi pendapatan disposabel masyarakat sehingga menurunkan konsumsi. Ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu melihat sensitivitas dampak kenaikan PPN ini terhadap konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujar Dias.

Risiko Jika Daya Beli Turun

Dias juga menyoroti risiko deflasi jika daya beli masyarakat turun secara signifikan. “Deflasi jauh lebih berbahaya daripada inflasi. Ada istilah deflation spiral, yangmana deflasi membuat pertumbuhan ekonomi rendah dan berdampak luas pada sektor lain,” ungkapnya.

Dia menambahkan bahwa deflasi juga menurunkan ekspektasi investasi, karena pelaku bisnis cenderung menahan ekspansi di tengah harga yang terus turun.

“Sebaliknya, inflasi justru memicu aktivitas bisnis yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi,” kata Dias.

Dias menekankan pentingnya insentif yang spesifik untuk mencegah dampak negatif kebijakan PPN.

“Harus ada riset berbasis data untuk melihat apakah benar kenaikan pajak ini akan meningkatkan pendapatan negara, atau justru mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Ini harus dihitung secara matang,” tegasnya.

Di tengah tantangan ekonomi global dan domestik, pemerintah Prabowo-Gibran telah menunjukkan langkah-langkah strategis, terutama dalam diplomasi perdagangan bilateral dan pengembangan ekonomi kreatif. Namun, kebijakan seperti kenaikan PPN harus diimbangi dengan perhitungan yang cermat dan insentif yang tepat untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan strategi yang tepat, kolaborasi antara pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, dan masyarakat dapat memperkuat daya saing Indonesia. Ekonomi kreatif, inovasi teknologi, dan diplomasi perdagangan diharapkan menjadi pilar utama yang membawa Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. (Dilla/Oky/Humas UB)