SIARAN PERS
24 November 2023
Nomor 105/X1/2023
Divisi Informasi dan Kehumasan Universitas Brawijaya (DIK UB) menggelar kegiatan Bincang dan Obrolan Santai Bersama Pakar (BONSAI). Kegiatan yang kali ini diadakan di Agro Technopark (ATP) Cangar mengangkat tema tentang “Pemikiran Berkelanjutan Hidup Harmoni dengan Gunung Api dan Panas Bumi”.
Tema ini merupakan starting point dari serangkaian rencana penulisan buku serupa untuk kawasan yang berbeda.
Prof. Sukir mengatakan karena di Jawa Timur atau Indonesia pada umumnya, potensi panas bumi sekitar 80% merupakan panas bumi yang berasosiasi dengan gunung api. Sehingga perlu dibukukan semua potensi yang ada, agar keberlanjutan dan kebermanfaatan bidang ini akan terjamin.
Kegiatan yang mengundang pemateri Pakar Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Daya Alam khususnya Kegununapian dan Panas Bumi, Prof. Ir. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D tersebut membicarakan bahwa keberadaan gunung api memberikan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat sekitar, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya anatara lain, sebagai sumber kehidupan (gunung, sungai, ekologi, dan mata air), penyedia potensi panas bumi, sumber penyedia unsur-unsur mineral dan hara dalam menyuburkan tanah dan sumber tambang serta sebagai sumber penunjang ekonomi masyarakat (pariwisata, pertanian, UMKM, dll).
Meskipun banyak dampak positifnya, namun perlu juga diperhatikan dampak negatifnya, sehingga keberadaan kedua potensi tersebut harus disikapi dengan bijak. Hal ini memberikan tantangan tersendiri karena belum optimalnya pengelolaan potensi sektoral di kawasan kaki gunung api serta belum masifnya terkait monitoring kebencanaan kawasan gunung api. Jadi diperlukan kebijakan yang seimbang dalam segala aspek terkait dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan gunung api.
Prof Sukir menjelaskan hidup berdampingan dengan gunung berapi perlu adanya kesadaran dari dalam diri masyarakat maupun semua stake holder terkait kebencanaan, dalam kata lain kesadaran kebencanaan secara berangsur harus diubah menjadi budaya sadar bencana pada segenap lapisan masyarakat dan lintas sektoral dan lintas. Untuk mengubah kesadaran diri menjadi suatu budaya terhadap kebencaan dibutuhkan usaha yang sangat besar, hal ini bisa dilakukan dalam bentuk school watching dan town watching.
“School watching kan lingkupnya di sekolah kalau town watching kan lingkup nya di kota atau desa mereka sendiri. Maksudnya adalah masyarakatlah yang bisa mengamati potensi bahaya. Kita yang ahli bencana pada saat terjadi bencana tidak berada di tempat tersebut. Oleh karena itu, masyarakatlah yang paham, masyarakat yang bisa, masyarakat yang tahu karakternya yang bisa mengevakuasi dirinya sendiri ketika ada bencana karena mereka yang menghadapinya sendiri,” katanya.
Prof. Sukir menambahkan pengetahuan tentang mitigasi bencana seharusnya menjadi program pemerintah. Kalau perlu bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dengan strategi, jika belum bisa dinasionalkan, bisa dimulai dari kurikulum lokal (muatan lokal dengan kerjasama pada daerah-daerah yang bersedia sebagai perintis). [Humas UB]