Universitas Brawijaya menambah tiga profesor di akhir tahun 2019 ini. Pertama, Prof. Dr.Dra. Sri Winarsih, MSi.,Apt., profesor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran . Ia merupakan profesor ke 257 yang telah dikukuhkan UB. Kedua, Prof. Devanto Shasta Pratomo, SE., M.Si., Ph.D,profesor di bidang Ketenagakerjaan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ia merupakan profesor ke 258 yang telah dikukuhkan UB. Selanjutnya, Dr. Drs. Mochammad Al Musadieq, BBA, MBA, profesor di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Perilaku Organisasi dari Fakultas Ilmu Administrasi. Ia merupakan profesor ke 259 yang telah dikukuhkan UB. Ketiganya dikukuhkan pada Rabu,(18/12/2019), di gedung Widyaloka.
Vaksinasi dan Imunomodulasi Untuk Atasi Tipes
Demam Tifoid atau jamak disebut Tipes di masyarakat Indonesia masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang dengan angka kematian yang cukup tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri atau kuman yang disebut Salmonella Typhi (S.Typhi) dan Salmonella Paratyphi (S.Paratyphi) yang ditularkan melalui makanan dan minuman. Tipes menyerang semua umur (terutama anak-anak), dan sebagian besar kasus terjadi akibat air minum yang terkontaminasi dan sanitasi yang buruk.
Prof. Dr.Dra. Sri Winarsih, MSi.,Apt menyampaikan, karena penyakit ini ditularkan melalui oral, pengobatannya pun lebih tepat melalui oral. Oleh karenanya ia melakukan penelitian untuk menghasilkan vaksin dan imunomodulasi melalui oral seperti sirup. “Injeksi bisa membuat anak-anak traumatis,” ujarnya pada Konferensi Pers Pengukuhan Profesor di Gedung Senat lantai 2, Selasa, 17/12/2019.
Selama ini tipes yang ditangani oleh tenaga medis diterapi dengan antibiotik. Namun sayangnya penggunaan antibiotik ini mengalami kendala, diantaranya tidak disiplinnya pasien mengikuti anjuran konsumsi antibiotik. Pasien seringnya berhenti minum antibiotik saat merasakan gejala-gejala tipesnya mereda. Padahal pemberhentian obat ini bisa berakibat resistensi bakteri terhadap jenis antibiotik yang diminum.
Oleh karenanya, ia mengusulkan langkah preventif dengan pemberian vaksin dan imunomodulasi. Vaksinasi bersifat mencegah penyakit secara spesifik, sehingga vaksin dibuat dari bagian sel bakteri penyebab penyakit tersebut; sedangkan imunomodulasi bersifat tidak spesifik dengan menggunakan senyawa kimia (disebut imunomodulator) yang dapat mengatur respon kekebalan tubuh untuk melawan semua jenis penyakit infeksi.
Disampaikan Sri, vaksin yang ia teliti ini dibuat dari adhesin. Adhesin merupakan bagian dari bakteri yang berupa rambut-rambut halus yang menjadi perantara pelekatan bakteri dengan sel target. Sedangkan imunomoduloator yang ditelitinya diambil dari jamur Candida albicans.
Penelitian ini baru dilakukan pada hewan uji di laboratorium. Ia berharap ada peneliti-peneliti berikutnya yang meneruskan penelitian ini hingga bisa dipasarkan ke masyarakat.
Bonus Demografi Untuk Ketenagakerjaan di Era Digital
Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Bonus demografi merupakan kondisi kependudukan yang jumlah kategori usia produktif (penduduk usia 15-64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam kategori tanggungan (anak-anak dan lansia). Sekilas kondisi ini menguntungkan bagi sebuah negara karena ketersediaan tenaga kerja melimpah.
Situasi ini bisa menjadi berkah atau sebaliknya, jika tidak direspon dengan kebijakan-kebijakan yang tepat. Demikian disampaikan Prof. Devanto Shasta Pratomo, SE., M.Si., Ph.D, profesor aktif ke 23 dari FEB UB.
Setidaknya ada empat tantangan yang mengiringi bonus demografi di Indonesia. Tantangan itu disampaikan Devanto yakni masih rendahnya pendidikan penduduk , kualitas pendidikan kita masih rendah untuk bersaing di dunia internasional, angka pengangguran yang masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, serta penduduk usia muda terdidik yang pengaangguran masih lebih dari 20 persen.
Langkah yang harus ditempuh pemerintah yakni, kebijakan pengembangan ketenagakerjaan harus diselaraskan dengan perkembangan di era ekonomi digital ini. Dengan datangnya era ekonomi digital, Indonesia memerlukan kebijakan dan ekosistem yang baik agar penyerapan tenaga kerja tetap dapat terjaga dan di saat yang bersamaan ekonomi tetap tumbuh sesuai rencana. Indonesia belum terlambat untuk mengantisipasi, karena hampir semua negara di dunia juga mengalami hal yang sama dengan datangnya perubahan ekonomi digital yang mendadak.
Selain perbaikan kualitas pendidikan, maka pengembangan Usaha Kecil dan Menengah berbasis digital dan penciptaan ekosistem yang menggambarkan sinergi antara dunia usaha, dunia pendidikan, dan pemerintah (triple helix) diperlukan terutama dalam hal penelitian dan pengembangan (R&D), inovasi, dan upaya peningkatan nilai tambah.
Kepemimpinan Ekspatriat dan Sumber Daya Manusia Lintas Budaya
Manajemen adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-ke-orang dan lebih merupakan suatu proses yang manusiawi daripada proses teknis. Untuk orang yang berbeda manajemen yang dilaksanakan akan berbeda pula. Misalnya, manajemen yang cocok untuk orang Jepang berbeda dengan manajemen yang cocok untuk orang Amerika, hal ini tidak dapat dihindari. Perkembangan manajemen harus memperhitungkan perbedaan-perbedaan ini, kalau tidak maka manajemen tersebut akan menjadi tidak relevan bagi kelompok pemakainya. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh aspek Budaya.
Lalu bagaimana dengan fenomena kepemimpinan Ekspatriat. Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB Dr.Drs. M Al Musadieq,BBA,MBA, membahas fenomena kepemimpinan ekspatriat sebagai persyaratan pengukuhan profesornya dengan judul “Kepemimpinan Ekspatriat dan Sumber Daya Manusia Lintas Budaya”
Dalam kajian Manajemen Sumberdaya Manusia Internasional terdapat tiga macam tipe karyawan, yaitu karyawan ekspatriat, karyawan lokal dan karyawan dari negara ketiga. Karyawan ekspatriat adalah karyawan yang berasal dari kantor pusat, yang biasanya ditugasi untuk memimpin cabang perusahaan di luar negeri. Karyawan lokal adalah karyawan yang berasal dari negara tuan rumah. Karyawan dari negara ketiga adalah karyawan yang bukan berasal dari negara tuan rumah dan bukan berasal dari kantor pusat.
Menjadi ekspatriat dengan memimpin suatu cabang perusahaan di luar negeri adalah suatu peluang sekaligus tantangan. Tidak banyak perusahaan yang memberikan program latihan yang intensif meliputi jangka waktu bulanan kepada eksekutifnya yang akan bertugas keluar negeri. Malah tidak sedikit yang hanya membekali mereka dengan brosur-brosur.
Selain faktor kapasitas sang manajer, salah satu alasan kegagalan ekspatriat adalah karena kegagalan keluarganya dalam beradaptasi, maka perusahaan yang bijaksana mengikutsertakan keluarga ekspatriat sebagai peserta latihan.
Pada pidato pengukuhannya, Al Musadieq memaparkan tiga hasil penelitian tentang kemampuan adaptasi budaya ekspatriat dan kepemimpinan ekspatriat dan satu hasil penelitian tentang SDM lintas budaya yang membandingkan daya tahan SDM Indonesia dan SDM Amerika menghadapi tekanan pekerjaan dan tekanan keluarga.[siti-rahma]