Mengenali Problematika Mahasiswa Melalui Pelatihan Bimbingan dan Konseling

Dewasa ini ada beberapa hal yang menjadi tantangan bagi pendidikan tinggi di Indonesia yaitu intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual. Permasalahan-permasalahan ini tidak hanya menghambat terwujudnya lingkungan belajar kondusif namun juga menimbulkan polemik psikologi mahasiswa. Ketiganya merupakan masalah serius lingkungan kampus yang harus diupayakan untuk dicegah dengan memberikan pemahaman kepada sivitas akademika melalui tata kelola secara tepat. Namun tidak dipungkiri apabila permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan mental juga kerap terjadi kepada mahasiswa, seperti stress, cemas, burnout, mudah putus asa, dan sebagainya. Pada kenyataaanya kondisi tersebut berpotensi mempengaruhi kemampuan mereka dalam menjalankan perkuliahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui pelatihan bimbingan dan konseling bagi dosen penasihat akademik, (24-27/7), Universitas Brawijaya berkomitmen dalam menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan dan juga penguatan karakter mahasiswa.

Dalam sambutannya Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kewirausahaan, Dr. Setiawan Noerdajasakti SH, MH, menyampaikan jika perguruan tinggi sudah sepatutnya membentuk moral, etika dan akhlak mahasiswa secara positif disamping peningkatan keilmuan secara akademik. Nilai-nilai ini mulai terkikis sedikit demi sedikit seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan zaman, dimana ketiganya harus tetap terjaga keberlangsungannya khususnya di dalam dunia pendidikan. Mahasiswa akan menjadi manusia bermartabat di masa depan apabila adab dan ilmu dapat berjalan bersama-sama di kehidupannya sehari-hari, mengimplementasikannya di masyarakat dan berkontribusi dalam peradaban.

Ulifa Rahma, S.Psi, M.Psi selaku Kepala Subdirektorat Konseling, Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan mengungkapkan tujuan kegiatan ini adalah membantu masalah-masalah yang dialami dengan beragam variabelnya, seperti isu kesehatan mental, penanganan psikologi mahasiswa, serta menurunnya resiliensi individu. Hingga kini fenomena isu keluarga, akademik hingga sosial biasa terjadi di dalam konflik mahasiswa sehingga menimbulkan demotivasi sampai depresi. Konflik tuntutan keluarga terhadap studi belajar yang dirasakan mahasiswa karena tidak sesuai dengan keinginannya, perundungan khususnya sesama mahasiswa baik fisik maupun mental, krisis kepercayaan terhadap diri sendiri sehingga sulit mengambil keputusan merupakan gambaran umum permasalahan mahasiswa yang sering kali terlihat ke permukaan. Secara tidak langsung masalah-masalah seperti ini bisa berdampak pada nilai akademik bahkan interaksi belajar di kelas. Maka dari itu diperlukan prosedur konseling yang komunikatif, menempatkan rasa nyaman berkomunikasi menjadi strategi relevan untuk memberikan perhatian, atau setidaknya menumbuhkan kepercayaan diri. “Dosen pendamping akademik juga bisa mengarahkan mahasiswanya lewat pengembangan minat dan bakat, dimana kompetensi tersebut juga menjadi salah satu cara untuk menciptakan kembali semangat belajar,” ungkapnya.

Ada beberapa parameter pendekatan konseling yang bisa dilakukan untuk membantu mengungkap persoalan mahasiswa, diantaranya melakukan client observation skill, dimana keterampilan konselor untuk mengamati mahasiswa, utamanya dapat menemukan ketidakasinkronan antara gestur dan isi percakapan. Mengedepankan empati, attending behavior agar menumbuhkan rasa percaya ketika mahasiswa mengungkapkan keluh kesahnya. Menggali permasalahan melalui klarifikasi dan proses identifikasi kemudian menyampaikan informasi maupun rekomendasi kepada mahasiswa ketika sedang berkonsultasi. “Konseling menjadi sarana memperbaiki kemampuan individu dalam relasi sosialnya, mengajak beradaptasi dengan berbagai keadaan, mendorong untuk membuat keputusan secara mandiri serta menciptakan interaksi menuju perubahan perilaku menjadi lebih baik,” pungkasnya. [humas]