Ita Istiqomah, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya, baru saja kembali dari pengalaman belajar yang tak terlupakan di Australia. Melalui program Short-term International Academic Program (SIAP), Ita menghabiskan dua minggu (28/6-14/7/2024) di Perth, Western Australia, untuk mengikuti berbagai kegiatan akademik dan budaya.
SIAP, program yang digagas Global Academic Engagement (GAE) Universitas Brawijaya, bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di luar negeri dan memperluas wawasan. “Program ini tidak hanya memberikan pengetahuan akademik, tetapi juga pengalaman berharga dalam berinteraksi dengan budaya yang berbeda,” ujar Ita.
Dirinya menjelaskan bahwa motivasi mengikuti program ini adalah untuk mencari suasana belajar baru di luar negeri dan menambah pengalaman selama kuliah. “Australia memang tujuan negara yang ingin saya kunjungi tapi belum ada waktu. Ketika mengetahui SIAP UB membuka program short course ke Australia, saya langsung mendaftar,” ujarnya. Mahasiswa asal Malang itu juga ingin mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan kampus di Australia sebagai persiapan untuk melanjutkan program master di negara tersebut.
Untuk mendapatkan kesempatan ini, dirinya harus melalui dua tahap seleksi. Tahap pertama adalah seleksi berkas, yang meliputi pengisian application letter, surat rekomendasi dari academic advisor, pengiriman hasil tes bahasa Inggris (IELTS), dan laporan keuangan serta paspor. Tahap kedua adalah wawancara yang dilakukan dalam Bahasa Inggris. “Setelah itu akan diinformasikan diterima atau tidaknya melalui email,” jelas Ita.
Dalam persiapannya, mahasiswa HI itu lebih fokus pada kesiapan fisik dan kebutuhan sehari-hari. “Untuk preparing-nya lebih ke mengumpulkan lagi baju hangat dan membeli peralatan yang dibutuhkan seperti bidet karena di Australia tidak disediakan jet shower,” katanya. Pengalaman sebelumnya berkunjung ke luar negeri membuatnya lebih siap secara mental.
Selama berada di Australia, kegiatan dirinya cukup padat, termasuk kelas, field trip, dan workshop. “Pelaksanaan course dibina oleh Tim Hartwell selaku English Language Lecture dari tim Centre of English Language Training (CELT) yang menyampaikan perkuliahan terkait Australian Culture serta historical background dari Australia dan Critical Thinking setiap hari senin hingga jumat mulai pukul 09.00 – 12.00 waktu Perth,” jelasnya.
Tidak hanya di kelas, program SIAP ini juga melibatkan kunjungan lapangan ke berbagai lokasi ikonik di Perth, seperti City Centre, Kings Park, dan Fremantle. “Field Trip ini ditujukan untuk memperkenalkan secara langsung budaya dan ikon-ikon kota Perth yang bersejarah dan juga agar mahasiswa merasakan secara langsung kehidupan di Australia secara nyata,” tambah Ita.
Selama mengikuti program, pihaknya mengaku menghadapi beberapa tantangan, terutama dalam beradaptasi dengan budaya dan gaya hidup di Australia. “Tantangan terbesar adalah hidup dan tinggal bersama native serta menaiki transportasi publik secara individu,” ungkapnya.
Tinggal di rumah penduduk lokal dengan budaya berbeda seperti menggunakan sepatu di dalam rumah, merupakan hal baru baginya. “Saya harus bernegosiasi menggunakan sandal hotel dibanding menggunakan sepatu sehari-hari saya,” tambahnya.
Selain itu, perbedaan aksen Bahasa Inggris juga menjadi tantangan tersendiri. “Saya mendapatkan single parent host family yang merupakan keturunan Skotlandia dan Inggris, sehingga aksen yang beliau pakai adalah Scottish-british-aussie yang jarang saya dengar selama belajar Bahasa Inggris,” ceritanya. Meski demikian, pengalaman ini justru meningkatkan keahlian dan rasa percaya dirinya dalam berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.
Baginya, pengalaman paling berkesan selama program adalah bertemu dan berbagi cerita dengan orang-orang baru, baik dari sesama mahasiswa UB maupun dari keluarga host-nya di Australia. “Sharing pengalaman dengan rekan sesama UB maupun dengan host family (keluarga besar) yang menghadiri dinner merupakan hal yang menyenangkan dimana kita saling bertukar wawasan secara informal seperti terkait habits, tradisi, agama, hingga budaya percintaan,” kenangnya.
Ita juga menyarankan mahasiswa lain yang tertarik mengikuti program serupa untuk mempersiapkan diri dengan baik, terutama dalam hal finansial dan kemampuan berbahasa Inggris. “Mempersiapkan finansial paling utama karena ini biaya mandiri, selain itu mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Bahasa Inggris baik untuk EPT maupun untuk berkomunikasi nantinya saat program berlangsung untuk mereduksi culture shock,” sarannya.
Pengalaman Ita di Australia tidak hanya memperkaya wawasan akademisnya, tetapi juga memberikan pemahaman lebih mendalam tentang budaya dan kehidupan sosial di Australia. “Studying abroad is not that scary! Memberanikan diri untuk belajar di luar negeri adalah keputusan terbaik untuk mengetahui sistem pembelajaran yang lain dari Indonesia,” tutupnya dengan semangat.[dea/sitirahma]