Banjir menjadi salah satu bencana alam yang banyak memakan korban jiwa serta paling tinggi frekuensi terjadinya.
Penanggulangan banjir seperti pengelolaan sampah daerah hilir telah dilakukan, akan tetapi hasilnya masih belum maksimal.
“Salah satu inovasi yang bisa dikembangkan untuk menanggulangi daerah rawan banjir di kawasan sedikit lahan serapan air dengan aspal geopori,” kata Agustin.
Agustin mengungkapkan aspal geopori dapat meningkatkan penyerapan air hingga 2000 liter per meter persegi.
Aspal geopori yang disebut juga geopolymer merupakan produk beton geosintetik.
Bahan baku utama pembuatan polimer ini diperoleh akibat reaksi dari alkaline medium dengan fly ash.
“Fly ash dapat diperoleh dari hasil limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sayangnya kandungan Arsenik (Ar) dan Kromium (Cr) pada fly ash dapat membahayakan kesehatan manusia dalam jangka panjang karena mengandung karsinogen yang diemisikan melalui gas,” kata Galuh.
Karena kandungan fly ash yang berbahaya, maka digunakan sekam padi untuk pengakumulasi Arsenik (Ar) dan Kromium (Cr), karena sekam padi merupakan limbah pertanian yang kaya akan bahan organik, sehingga dapat meningkatkan perkembangbiakan mikroba yang menguntungkan.
Menurut Nurun Sekam padi dalam bentuk abu juga dapat digunakan sebagai bahan baku geopolymer disamping fly ash, karena mengandung silika (SiO2) aktif sebesar 94-96%.
“Semoga penelitian ini dapat memberikan alternatif solusi dalam mengurangi limbah industri dan solusi peningkatan efektivitas akumulator logam berat berbahaya dari fly ash oleh mikroba abu sekam padi sebagai bahan pembuat geopolymer. Selain itu, juga dapat berkontribusi sebagai penanggulangan emisi gas beracun dan bencana banjir di Indonesia,”kata Nurun selaku ketua tim. (AJENG/Humas UB).