Fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-3 dunia dalam hal ekspor kakao ini yang menjadi awal mula perjalanan penelitian dimulai. Salah satu hal wajib yang dilakukan sebelum ekspor kakao yaitu proses sortasi. Proses sortasi yang dilakukan hingga saat ini masih dilakukan secara konvensional, sehingga sangat tidak efektif dalam segi waktu dan hasil sortasi. Maka dari itu melalui program Agritech Science Innovation and Competition (ASIC) yang diselenggarakan oleh Agritech Research and Study Club Fakultas Universitas Brawijaya Tim Yolkabrow membuat terobosan baru yaitu “implementasi Algoritma YOLOv8 dalam deteksi biji cacat kakao guna meningkatkan ekspor kakao di Indonesia”
Penelitian mereka dilaksanakan selama lima bulan sejak bulan Juni hingga November. Penelitian ini dilaksanakan oleh Tim Yolkabrow yang terdiri dari 5 mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian yaitu Nurhikmah Makmur, Aldina Hikmaktus Sakdiyah, Fransiskus Rio Pandi, Gyan Permata Aulia, Roy Ardy Colas Napitupulu. Proses penelitian ini dilakukan dengan bimbingan dosen Dr.Agr.Sc.Ir. dimas Firmanda Al Riza, ST., M.Sc, IPM.
Penggunaan YOLOv8 yang merupakan salah satu cabang dari Convolutional Neural Network (CNN) ini terbukti akurat dalam pendeteksian biji cacat kakao. Algoritma yang mereka buat dapat digunakan dalam deteksi biji kakao secara cepat dan real time, mereka juga dapat membuktikan bahwa hasil dari algoritma ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
“Pendeteksian yang dilakukan oleh algoritma ini menggunakan perbedaan warna serta tekstur dalam biji masing-masing jenis cacat biji kakao. Dimana jenis biji cacat kakao dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu biji slaty, biji berjamur, dan biji berkecambah serta kami juga menggunakan biji kakao normal sebagai perbandingannya. Untuk melihat kualitas biji kakao ini masih perlu destruktif dengan cutting test karena kualitas biji hanya dapat dilihat pada bagian dalam biji kakao,” kata Nurhikmah.
Setelah mereka melakukan trial error dengan menggunakan beberapa variasi epoch yang digunakan akhirnya mereka mendapatkan hasil algoritma yang optimal. Adanya inovasi ini diharapkan dapat membantu sektor industri kakao dalam hal deteksi biji kakao sebelum dilakukan ekspor maupun pemrosesan produksi. Perjalanan ide ini dilandasi oleh dua hal yaitu Indonesia yang menduduki peringkat ketiga dalam ekspor kakao, serta proses sortasi yang masih dilakukan secara konvensional.
“Hingga saat ini sortasi biji kakao masih dilakukan secara konvensional yaitu dengan cara dilihat per satu-satu biji kakao menggunakan mata, proses sortasi tersebut dapat memakan waktu yang lama dan menimbulkan bias dari masing-masing orang ketika melakukan sortasi. Maka dari itu kami menilai sortasi konvensional sangat tidak efektif,” jelas Nurhikmah
Tim Yolkabrow berhasil menciptakan algoritma deteksi biji kakao dengan tingkat akurasi yang tinggi. Algoritma yang didapatkan menggunakan epoch sebesar 150 dan Batchsize 25. Hasil dari trial error ini membuahkan hasil hingga didapatkan tingkat Mean average Precision (MaP) sebesar 99,3%. Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa inovasi algoritma yang diciptakan dapat mengenali masing-masing biji cacat kakao dengan persentase keyakinan 90%.
“Cara kerja algoritma kami sendiri Ketika kamera menangkap citra dari sampel kakao maka secara real time pada monitor akan langsung terdeteksi jenis biji cacat kakao yang di sortasi. Klasifikasi jenis biji cacat akan muncul per masing-masing biji serta ada angka yang menunjukkan tingkat kepercayaan algoritma ini dalam pendeteksian. Setelah dicoba secara langsung pada biji cacat kakao sudah didapatkan tingkat keyakinan 90%” Penjelasan dari Nurhikmah. (*/OKY/Humas UB).