Tiga mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) membuat inovasi terbaru berupa Mini-Instrumen untuk deteksi cepat tingkat optimum kematangan tebu untuk mengatasi rendahnya produksi gula di Indonesia.
Indonesia merupakan negara penghasil tebu, dimana di Jawa Timur merupakan produsen tebu terbesar di Pulau Jawa. Produksi tebu di area tersebut mencapai angka 1.260.632 ton pada tahun 2013 (Sekjen Kementrian Pertanian,2016). Di Kabupaten Malang sendiri tercatat pada tahun 2014 memproduksi tebu 273.540 ton gula hablur atau 21,70% (Sekjen Kementrian Pertanian, 2016).
Berdasarkan data USDA 2017, tingkat rendemen pabrik gula dan penggilingan tebu di Indonesia hanya mencapai 7,50% pada 2017/2018 (Pryanka, 2019). Dimana kontribusi kualitas tebu terhadap rendemen sebesar 87,7% sedangkan kontribusi efisiensi pabrik terhadap rendemen hanya sebesar 12,3% (Putra, 2012).
Kandungan gula pada bahan tebu yang siap digiling ditentukan paling tidak oleh empat aktifitas, antara lain pemilihan jenis dan kualitas bibit tebu (genetik), teknis budidaya tanaman, ketepatan waktu panen/tebang, dan manajemen tebang angkut (Subiyanto, 2017).
Sebelum panen para petani tebu akan melakukan analisis kemasakan tebu yang dilakukan secara periodik setiap dua minggu sejak tanaman berusia 8 bulan untuk diukur derajad brix, pol dan purity-nya (BPS, 2017). Satuan brix digunakan untuk menunjukkan kadar gula yang terlarut dalam dalam suatu larutan.
Penentuan rendemen tebu yang berlaku saat ini masih mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sampling tebu individu petani tidak akurat, tebu petani tercampur satu sama lain, kadar nira tebu ditetapkan sama untuk semua tebu petani dalam satu periode giling (15 hari giling), dan tiga tidak dapat membedakan antara tebu satu dengan tebu yang lain (Putra, 2012). Akibatnya hasil penetapan rendemen tebu kurang mencerminkan tebu individu petani. Dampaknya, petani tebu lebih berorientasi pada bobot tebunya dari pada kualitas tebunya. Kondisi ini perlu segera diatasi dengan cara mengaplikasikan sistem penetapan rendemen tebu secara individual.
Berdasarkan masalah tersebut, Mohammad Alwi Ashaby, Nurul Hidayatul Khoir dan Masna Durroh In’am Jalila membuat suatu trobosan baru yaitu Mini-Instrumen Untuk Prediksi Tingkat Kematangan Optimum Tebu Berdasarkan Total Padatan Terlarut Menggunakan Sensor Fotonik.
Sistem Mini-Instrumen tersebut dibangun dengan membentuk model prediksi analisis multivariat secara kuantitatif berupa Partial Least Square (PLS) yang dipadukan dengan spektrum elektromagnetik di area ultra violet dan tampak telah terbukti untuk menduga kandungan TPT tanpa harus merusak tebu dengan memprediksi kandungan total padatan terlarut yang merepresentasikan kandungan gula pada tebu.
Ditambah dengan perkembangan teknologi MEMS (Micro Electro Mechanical System), membuat fungsi spectrophotometer UV/Vis versi Bench-Top (UV/Vis spectrometer versi laboratorium) mampu dikembangan dalam bentuk yang kecil dan kompak yang dapat diterapkan di lapangan. Penggunaan sistem penduga kematangan tebu tidak mengharuskan petani tebu untuk melakukan preparasi seperti cara konvensional yang mengharuskan petani membuat sari tebu terlebih dahulu (destruktif). Penggunaan sistem ini dapat diaplikasikan secara langsung di area pertanian, dengan menyinari batang tebu maka hasil analisi obrix akan ditampilkan secara langsung pada display alat. Sehingga sangat cocok untuk pengujian langsung dengan minimum preparasi sampel dan dapat mencerminkan kualitas tebu individu petani.
Langkah selanjutnya dari pembuatan Mini-Instrumen yaitu bekerja sama dengan dinas pertanian agar dapat mendukung peningkatan produktivitas tebu, bekerja sama dengan research grup, dan mengkomersialisasi alat untuk masyarakat umum.[MSN/Humas UB]