Isu lingkungan semakin menjadi perhatian di era modern ini tidak hanya di negara Indonesia namun juga menjadi permasalahan global. Mulai dari perubahan iklim, pencemaran lingkungan, deforestasi, menurunnya keanekaragaman hayati hingga krisis air dan limbah menjadi persoalan yang tidak dapat di hindari. Dengan penduduk terbesar keempat di dunia, maka pemerintah Indonesia perlu merespon dengan cermat dan bijak dalam menanggulangi poblematika tersebut karena isu lingkungan bisa memberikan konsekuensi yang cukup beragam di masa depan. Dengan latar belakang tersebut, Menteri Lingkungan Hidup / kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, S.Hut, MP melakukan kunjungan ke Universitas Brawijaya pada Sabtu (7/12) untuk menjalin kerjasama antara pemerintah dan akademisi dalam mewujudkan visi dan misi secara bersama-sama khususnya dalam pengambilan keputusan secara saintifik dan instrumen kebijakan yang tepat guna.
Sejak menjadi bagian dari kabinet merah putih, Dr. Hanif sudah mendapatkan mandat dari Presiden Prabowo Subianto untuk mengatur pengelolaan limbah dan pengendalian lingkungan hidup. Menurutnya salah satu contoh isu lingkungan yang terjadi hingga saat ini tercermin dari indeks kualitas air, udara, lahan dan kesehatan pantai di Indonesia dimana memiliki kecenderungan terdegradasi secara relatif sangat tinggi, terutama dari indeks kualitas air. Hampir sebagian besar sungai di wilayah Indonesia kualitas airnya selalu menurun setiap tahunnya. Tentunya dengan menggandeng sivitas akademika UB, Kementrian Lingkungan Hidup mulai mempersiapkan tiga hal utama dalam realisasi kerjasama tersebut yaitu pengendalian kerusakan lingkungan, pengendalian perubahan iklim dan peningkatan kapasitas SDM lingkungan.
Pemerintah merinci secara spesifik bahwa kebutuhan pengendalian kerusakan lingkungan saat ini adalah perlunya inovasi pengembangan indikator pencemaran air yang bisa melihat kondisi air secara real time di berbagai daerah, tentunya dengan pembaharuan informasi secara cepat untuk melihat bagaimana indikator pencemaran air akan sangat membantu melakukan monitoring secara menyeluruh. “Disamping itu kami juga membutuhkan inovasi pengelolaan sampah dan limbah industri yang bisa di kaji melalu penelitan-penelitian di UB yang nantinya mampu di scale up untuk mendorong realisasi di lapangan. Tantangan lainnya tidak kalah penting adalah pemulihan lahan terkontaminasi dan pemulihan ekosistem, dimana keduanya memiliki permasalahan pembiayaan cukup besar dan waktu yang cukup lama. Ditambah lagi kebutuhan sistem informasi lingkungan terintegrasi dengan kecerdasan buatan dan big data untuk mendukung keberlangsungan tata kelola lingkungan,” ungkapnya.
Selanjutnya pada pengendalian iklim, Kementrian Lingkungan Hidup dan UB sudah berkomitmen dalam melakukan penanaman mangroove dalam upaya memaksimalkan proses rehabilitasi di 600 ribu hektar potensial lahan mangroove yang ada di Indonesia. Langkah ini perlu didukung dari keterlibatan berbagai pihak termasuk Kementrian Pendidikan, Sains dan Teknologi serta kampus UB karena penempatan mangroove terbesar di dunia hampir meliputi 23 persen dari habitat mangroove di dunia, sekitar 33,4 juta berada di Indonesia, sehingga penanaman ini bisa menjadi flagship dan mendapatkan perhatian dari internasional dan menjadi dampak baik bagi lingkungan tanpa mengurangi muatan sosial serta ekonominya. Di penghujung lawatannya ke UB, Dr. Hanif menyempatkan untuk melakukan penanaman pohon kepel di area gedung rektorat UB ditemani Prof. Widodo S.Si, M.Si, Ph.D, Med.Sc selaku Rektor beserta jajaran pimpinan sivitas akademika. [humas]