Konsep S2PI: Harapan Baru untuk Nelayan Indonesia yang Sejahtera

Prof. Dr. Ir. Edi Susilo, M.S dengan Imam Saifudin, nelayan yang menjadi Ketua Pokmaswas Kejung Samudra

Memperingati Hari Nelayan Nasional yang jatuh setiap tanggal 6 April, Dosen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan (SEPK) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB) Prof. Dr. Ir. Edi Susilo, M.S menggaungkan satu pertanyaan penting: Mengapa nelayan tetap miskin di negeri yang kaya sumber daya kelautan?

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan potensi kelautan yang sangat besar. Namun ironisnya, jutaan nelayan masih hidup dalam garis kemiskinan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2019, sekitar 14,58 juta nelayan tergolong miskin.

Dalam kajian sosiologis yang digagasnya, Prof. Edi menawarkan Struktur Sosial Progresif-Integratif (S2PI) sebagai pendekatan baru yang memadukan aspek sosial, ekonomi, ekologi, dan nilai spiritual dalam pembangunan perikanan. Konsep ini berangkat dari kritik bahwa pembangunan perikanan di Indonesia selama puluhan tahun terlalu ekonomis dan kurang menyentuh akar sosial kehidupan nelayan.

“Pembangunan perikanan selama ini cenderung bertumpu pada pendekatan ekonomi, namun sering melupakan aspek sosial masyarakat nelayan itu sendiri. Pendekatan ekonomi yang tidak seimbang justru memperbesar risiko kerusakan lingkungan dan konflik sosial,” tegas Prof. Edi yang juga merupakan Peneliti Utama di Pusat Studi Peradaban UB.

Konsep S2PI mengedepankan dua hal: Progresif, artinya masyarakat nelayan bergerak menuju kemajuan, dan Integratif, artinya tetap menjaga kesatuan sosial dalam komunitasnya. Menurutnya, pendekatan ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disinergikan dengan pendekatan ekonomi dan ekologi, dengan landasan nilai-nilai religius sebagai fondasinya.

Lebih lanjut, Edi Susilo menekankan pentingnya memperkuat struktur sosial masyarakat nelayan dengan memperhatikan kapasitas ruang dan titik kritis dalam tatanan sosial. Ketika pembangunan tidak memperhatikan hal ini, risiko konflik dan disintegrasi sosial menjadi besar.

Salah satu tawaran strategis dalam konsep ini adalah pembentukan adaptor sosial, yaitu kelembagaan yang menjadi jembatan antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal masyarakat nelayan. Derivasi dari konsep ini seperti Adakonser (Adaptor Konservasi), Adiplas (Adaptor Inti-Plasma), dan Aderum (Adaptor Ekonomi Rumah Tangga) dapat menjadi solusi dalam memperkuat ketahanan sosial-ekonomi nelayan.

Hari Nelayan Nasional 2025 menjadi momen reflektif untuk menegaskan kembali bahwa nelayan bukan sekadar pencari ikan, melainkan penjaga peradaban bahari.

“Jika aktivitas ekonomi merusak ekologi, maka kesejahteraan sosial sulit tercapai. Kita harus kembali pada nilai amanah menjaga laut secara berkelanjutan,” tegasnya.

Dengan semangat Hari Nelayan, Prof. Edi mengajak kita menjadikan nelayan sebagai subjek utama pembangunan, bukan hanya objek kebijakan. Konsep S2PI hadir sebagai harapan baru, agar nelayan Indonesia bisa tinggal landas, bukan terus tertinggal di landasan. [RIB/MIT/Humas UB]