Ketua Pusat MPK UB: Pancasila dan Bahasa Indonesia Tidak Bisa Dihapus dari Kurikulum

Ketua Pusat Pengembangan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Brawijaya Dr. Abdul Madjid, S.H., M.Hum

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang tidak menyebutkan Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tinggi menjadi polemik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sudah merilis pernyataan resmi dan menegaskan akan mengajukan revisi PP tersebut terkait substansi kurikulum wajib.

Ditemui PRASETYA Online, Senin (19/04/2021), Ketua Pusat Pengembangan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Brawijaya (Pusat MPK-UB) Dr. Abdul Madjid, S.H., M.Hum menyampaikan setuju dengan langkah yang diambil Mendikbud.

“Memang dalam siaran pers telah diklarifikasi bahwa PP Standar Nasional Pendidikan disusun mengacu pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, namun siaran pers saja tidak cukup, karena pada PP juga disebutkan mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang secara jelas menyebutkan kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia, sehingga harus direvisi. Karena PP merupakan penjabaran pelaksanaan dari UU,” paparnya.

Menurut Abdul Madjid, Pancasila dan Bahasa Indonesia merupakan komitmen nasional, baik sebagai ideologi bangsa maupun sebagai bahasa persatuan. Serta memiliki sejarah panjang dan tidak bisa begitu saja dihilangkan, karena akan menghilangkan sejarah dan karakter bangsa.

“Mata kuliah ini dulu disebut Mata Kuliah Umum, namun sekarang ditegaskan menjadi Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Harapannya mahasiswa akan memiliki wawasan kebangsaan yg baik, yaitu paham ideologi bangsa sebagai negara kesatuan serta sifat-sifat baik Pancasila, memahami bahasa persatuan, dan memiliki nilai religiusitas. Supaya selain berilmu tinggi, mahasiswa tidak lupa pada akar nilai-nilai bangsanya. Untuk itu PP ini perlu direvisi dan memasukka secara tegas substansi kurikulum wajib,” pungkas dosen Fakultas Hukum ini. [Irene]