Alfons Zakaria, Ketua Kompartemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka yang digelar di Auditorium Gedung A, lantai 6, pada Jumat (28/2/2025). Dalam disertasi yang berjudul Penjatuhan Pidana Pembubaran Korporasi dalam Perspektif Kepastian Hukum, Alfons menyoroti pentingnya kepastian hukum dalam penerapan sanksi pembubaran perusahaan yang terbukti melanggar hukum.
Disertasi ini dipresentasikan di hadapan tim promotor yang terdiri dari Dr. Abdul Madjid sebagai promotor utama, serta Dr. Bambang Sugiri dan Dr. Sihabudin sebagai co-promotor. Sidang ini juga menghadirkan dewan penguji, yakni Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, Dr. Yuliati, Dr. Budi Santoso, dan Dr. Sarwirini.
Dalam pemaparannya, Alfons menekankan bahwa penerapan pidana pembubaran terhadap korporasi tidak bisa dilakukan sembarangan. Dia menyoroti selain memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang melanggar hukum, sanksi ini juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai pihak terkait, seperti karyawan, pemegang saham, dan mitra bisnis.
Sebagai bagian dari solusi atas persoalan ini, Alfons mengusulkan konsep Integrated Sentencing Theory. Teori ini mengombinasikan pendekatan retributif dan rehabilitatif dalam sistem pemidanaan guna menyeimbangkan antara keadilan bagi korban dan peluang perbaikan bagi pelaku. Dia berpendapat bahwa keadilan tidak hanya harus memastikan hukuman bagi pelanggar, tetapi juga memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk berbenah agar tidak terjerumus dalam kesalahan yang sama.
“Pemidanaan terhadap korporasi tidak boleh hanya berfokus pada hukuman semata, tetapi juga harus melihat dampaknya terhadap lingkungan bisnis dan sosial,” ungkap Alfons dalam sidangnya.
Salah satu gagasan menarik dalam disertasinya adalah usulan penerapan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Mekanisme ini memungkinkan adanya penyelesaian hukum di luar pengadilan melalui kesepakatan antara perusahaan yang bermasalah dengan jaksa penuntut umum. Dengan adanya skema ini, korporasi yang melakukan pelanggaran hukum masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka sebelum dikenai hukuman yang lebih berat.
Selain itu, Alfons juga menggarisbawahi pentingnya penerapan skema hukuman bersyarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 KUHP 2023. Dalam regulasi tersebut, korporasi yang dikenai ancaman pembubaran dapat diberikan masa percobaan hingga 10 tahun untuk menunjukkan perbaikan sebelum sanksi pembubaran benar-benar dijatuhkan. Alternatif lain yang dapat diterapkan adalah tindakan pengawasan dan pengampuan terhadap korporasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 123 KUHP 2023.
Menurut Alfons, penerapan mekanisme seperti DPA dan hukuman bersyarat dapat menjadi solusi yang lebih fleksibel bagi sistem peradilan dalam menangani tindak pidana korporasi. Ia berharap konsep-konsep yang dikemukakannya dapat menjadi dasar bagi kebijakan hukum yang lebih adaptif dan efektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran hukum oleh perusahaan di Indonesia.
“Dengan sistem yang lebih fleksibel dan mempertimbangkan berbagai aspek, kita dapat mewujudkan keadilan hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memberi kesempatan bagi perusahaan untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kesalahan mereka,” tutupnya. (Rma/Humas FH/Humas UB)