Kenalkan Layanan Konseling Kepada Mahasiswa Baru Sebagai Penanganan Kesehatan Mental

Kekerasan seksual dan perundungan khususnya di lingkungan perguruan tinggi menjadi perhatian serius bagi sivitas akademika Universitas Brawijaya, permasalahan ini memiliki dampak cukup besar terhadap perubahan kondisi kepribadian dan psikologi mahasiswa apabila hal itu secara terus-menerus terjadi dan tidak dicegah secara langsung. Prof Widodo S.Si, M.Si, Ph.D, Med.Sc selaku Rektor UB telah mengeluarkan surat edaran yang berisi larangan adanya kekerasan dan mencegah aksi pelecehan seksual saat pengenalan mahasiswa baru. Rektor menghimbau agar seluruh aktivitas akademik dan kemahasiswaan kampus baik di tingkat universitas, fakultas maupun departemen/program studi wajib disterilkan dari aksi perundungan/kekerasan fisik dan mental hingga kekerasan seksual.

Hal ini juga disampaikan oleh Ketua Subdirektorat Perundungan & Pelecehan Seksual, Ulifa Rahma S.Psi, M.Si, Psikolog dalam paparannya di H-2 kegiatan PK2MABA, Samantha Krida, Selasa (15/8). Saat ini UB memiliki Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang mengawasi dan menindaklanjuti problematika tersebut. Seluruh peserta kegiatan PK2MABA UB harus memiliki kesadaran tentang permasalahan kekerasan seksual, karena kasus seperti ini masih kerap terjadi dimana saja dan kapan saja, tidak menutup di lingkungan pendidikan sekalipun. Maka dari itu ia berpesan kepada mahasiswa baru untuk menjunjung tinggi kode etik mahasiswa UB sebagai landasan/pedoman kampus. Di UB landasan hukum mengenai kekerasan seksual dan perundungan diatur dalam Pertor UB No.70 Tahun 2020, dalam peraturan tersebut masing-masing fakultas harus memiliki unit layanan tindak pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan pusat konseling untuk di tingkat universitas.

Menurutnya, layanan konseling UB menjadi fasilitas yang mengakomodir kebutuhan mahasiswa ketika mereka sedang mengalami kasus, tidak hanya permasalahan kekerasan seksual namun juga gangguan kesehatan mental (depresi, cemas, tidak percaya diri, stress dan sebagainya). Hal tersebut setidaknya mendapatkan pelayanan profesional dari para dosen pendamping akademik (PA), mengingat bahwa yang perlu diperhatikan tidak hanya perkembangan kemampuan akademik semata namun juga kondisi kesehatan mahasiswanya. “Kami memberikan layanan konseling kepada mahasiswa baik secara offline maupun online (via zoom/e-mail) dan pelatihan psikoedukasi. Layanan konseling berfokus pada beberapa parameter, diantaranya seperti kekerasan seksual dan perundungan, permasalahan pribadi hingga sosial, serta pengembangan bakat dan minat. Selain itu ada pula layanan konseling yang lebih mengarah kepada persoalan akademik seperti konflik manajemen waktu, kesulitan mengikuti pembelajaran dan kendala perkuliahan lainnya,” ungkapnya.

Di sisi lain, layanan psikoedukasi menjadi fasilitas pelatihan bagi dosen penasehat akademik untuk memberikan pendampingan kepada mahasiswa bermasalah agar nantinya treatment yang diberikan sesuai arahan dan tepat sasaran. Pelatihan psychological first aid juga menjadi bagian layanan responsif kepada mahasiswa, dimana pelatihan ini membangun awarness dan empati sivitas akademika dalam melakukan penanganan awal terhadap gangguan sosial di lingkungan kampus. Beberapa program seperti peer counselor (layanan teman sebaya), webinar series terkait pengembangan kepribadian diri turut dihadirkan sebagai metode konseling yang lebih luas. “Berbagai praktisi rujukan kami sediakan kepada mahasiswa-mahasiswa yang sedang mengalami kesulitan (permasalahan tingkat berat) dan membutuhkan pendampingan secara intensif, mulai dari konselor, psikolog klinis, psikiater, konsultan hukum, medis dan perawat kejiwaan. Sedangkan untuk ditingkat fakultas kami mempersiapkan koordinator peer counselor yang berasal dari mahasiswa jurusan psikologi,” tambahnya. [humas]