Oleh dr. Nur Samsu, SpPD KGH (Ketua Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya)
Pertanyaan yang sering dan penting dari seorang pasien yang terkonfirmasi COVID-19 adalah: ‘Dok, kapan saya boleh masuk kerja lagi?’ pertanyaan berikutnya ‘Apakah saya masih menularkan virus ke orang lain atau keluarga saya?’
Pada penyakit COVID-19, durasi pelepasan virus yang infeksius sangat bervariasi dan kemungkinan tergantung pada beratnya penyakit dan kondisi kekebalan pasien. Suatu penelitian mendapatkan tes RNA virus ulangan dengan hasil yang negatif pada 90% kasus dengan penyakit yang ringan, sedangkan penyakit yang berat didapatkan hasil yang positif dengan jangka waktu yang lebih lama (Liu Y et al, 2020). Zhou dkk melaporkan median durasi pelepasan virus pada pasien COVID-19 yang kondisinya berat atau kritis adalah 31 hari (kisaran, 18-48 hari) (Zou B, 2020).
Pada saat ini – setidaknya sampai tulisan ini dibuat – , pasien-pasien yang telah sembuh dari COVID-19, bisa jadi tidak serta-merta merasa senang telah dapat melewati fase akut dari penyakitnya. Karena pada fase berikutnya mereka masih harus menunggu lagi untuk jadwal dilakukannya swab ulangan, dengan tujuan untuk memastikan apakah virusnya masih positif ataukah sudah negatif atau dengan kata lain masih menularkan virus apa sudah aman. Selama waktu tunggu itu, mereka harus diisolasi, tidak boleh masuk kerja dengan stigma sebagai seseorang yang dapat menjadi sumber penularan virus bagi orang lain, baik di rumah atau di lingkungan tempatnya bekerja, sehingga tidak boleh dekat-dekat, harus menjauh atau dijauhi.
Oleh karenanya, bisa jadi hal-hal demikian ini menjadi beban psikologis yang cukup berat bagi seseorang yang telah sembuh dari COVID-19, dan pada banyak pasien (yang sakitnya hanya ringan atau yang tidak bergejala) mungkin dirasakan jauh lebih berat dibandingkan dengan penyakit COCID-19-nya itu sendiri. Dilain pihak, tes swab ulangan dengan hasil yang diharapkan negatif tidak bisa dipastikan kapan waktunya, entah sampai berapa kali swab, karena tidak ada jaminan bahwa setelah sekian kali swab hasilnya akan negatif, bisa jadi hasil tetap positif s
etelah berkali-kali swab. WHO menyatakan hasil test swab bisa tetap positif selama berminggu-minggu setelah terinfeksi, sedangkan berdasarkan rilis CDC pada bulan agustus 2020 menunjukkan bahwa seseorang yang pulih dari COVID-19 jika dites ulang dalam waktu 3 bulan setelah terinfeksi, dapat terus mendapatkan hasil tes yang positif.
Yang menjadi pertanyaan apakah memang demikian kenyataannya, bahwa hasil test swab yang positif identik dengan sumber penularan virus, sehingga syarat seseorang untuk dapat kembal beraktifitas seperti sebelumnya hasil swab yang negatif menjadi suatu hal yang mutlak ? Apakah ada bukti bahwa seseorang dengan hasil swab tetap positif adalah sumber penularan virus SAR-COV-2 ?
Bagaimana Risiko Transmisi Virus SAR-CoV-2 ?
Penyakit COVID-19 adalah infeksi virus yang sangat mudah menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Setelah seseorang terpapar virus SAR-C0V-2 ini, RNA virus dapat terdeteksi pada pasien 1-3 hari sebelum timbulnya gejala. Pada saluran pernapasan bagian atas, viral load mencapai puncaknya dalam minggu pertama infeksi (tertinggi pada 4 hari setelah gejala dimulai), diikuti dengan penurunan bertahap dari waktu ke waktu. Pada tinja dan saluran pernapasan bagian bawah, viral load mencapai puncaknya pada minggu kedua penyakit.
Ada kecenderungan tetap terdeteksinya RNA virus yang lebih lama pada pasien yang sakit dengan gejala yang lebih berat dan pada pasien dengan gangguan kekebalan. Risiko penularan terkait dengan onset gejala. Risiko penularan tertinggi adalah pada atau sekitar waktu onset gejala dan dalam 5 hari pertama sakit. Pada umumnya 5-10 hari setelah terinfeksi SARS-CoV-2, individu yang terinfeksi mulai memproduksi antibodi penetral secara bertahap. Pengikatan antibodi penetral ini terhadap virus dapat mengurangi risiko penularan virus. Jadi berdasar riwayat alaminya, setelah 10 hari sakit, risiko menularkan virus pasien COVID-19 pada orang lain adalah rendah.
Apakah RT-PCR RNA virus SAR-CoV-2 yang Positif Masih Menularkan Virus ?
Infeksi virus penyebab COVID-19 (SARS-CoV-2) ini dipastikan dengan adanya RNA (molekul) virus yang terdeteksi melalui tes molekuler, biasanya RT-PCR. Terdeteksinya RNA virus pada seseorang tidak selalu berarti bahwa orang tersebut infeksius sehingga dapat menularkan virus ke orang lain. Ada faktor-faktor yang menentukan risiko penularan yaitu kemampuan virus untuk bereplikasi, pasien yang masih memiliki gejala, seperti batuk, yang dapat menyebarkan droplet infeksius, dan kondisi serta faktor lingkungan yang terkait dengan individu yang terinfeksi.
Pada banyak penyakit virus (misalnya SARS-CoV, MERS, virus influenza, virus Ebola, dan virus Zika) telah diketahui dengan baik bahwa RNA virus dapat dideteksi dalam waktu yang lama setelah virus yang menular sudah tidak ada lagi. Virus campak misalnya, RNA virus-nya masih dapat dideteksi 6–8 minggu setelah virus yang menular sudah hilang. Sistem kekebalan dapat menetralkan virus yang mencegah infeksi berikutnya tetapi tidak menghilangkan asam nukleat, yang tetap dapat terdeteksi dengan RT-PCR, yang akan menurun perlahan seiring waktu (Atkinson dan Petersen, 2020).
Wolfel et al melaporkan pasien COVID-19 dengan gejala yang ringan sampai sedang, ternyata tidak ditemukan virus SARS-CoV-2 yang dibiakkan dari sampel saluran nafas setelah hari ke-8 sejak timbulnya gejala. Penelitian lain dengan derajat penyakit yang bervariasi menunjukkan ketidakmampuan untuk membiakkan virus setelah hari ke 7 sampai 9 dari onset gejala (Bullard et al, 2020; CDC, update Juni, 2020). Suatu penelitian pada 129 pasien COVID-19 dengan kondisi yang kritis, dengan 30 pasiennya merupakan pasien immunocompromised, didapatkan durasi rata-rata pelepasan virus yang diukur dengan kultur adalah 8 hari setelah onset, kisaran interkuartil 5-11 hari. Kemungkinan terdeteksinya virus pada kultur adalah kurang dari 5% setelah 15,2 hari dari gejala (Van Kampen et al, 2020).
Penelitian ini serta beberapa penelitian lain yang dilaporkan telah menggambarkan korelasi antara penurunan infektivitas dengan penurunan viral load dan peningkatan antibodi penetral. Meskipun RNA virus dapat dideteksi dengan RT-PCR bahkan setelah gejala hilang, jumlah RNA virus yang terdeteksi secara substansial berkurang dari waktu ke waktu dan umumnya di bawah ambang batas kemampuan virus untuk bereplikasi. Oleh karena itu, kombinasi waktu antara saat timbulnya gejala sampai dengan hilangnya gejala tersebut merupakan pendekatan yang aman berdasarkan data-data yang ada saat ini.