Kolaborasi Lintas Institusi Bahas Perbaikan Sistem Penanganan Pelecehan Seksual

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Brawijaya (Satgas PPK UB) bersama dengan Paham Hukum, Komisi Nasional Perempuan Republik Indonesia (Komnas Perempuan RI), dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Lambung Mangkurat (Satgas PPKS ULM) sukses gelar Konferensi Nasional Paham Hukum secara daring pada (19/04/2025). Kegiatan tersebut mengangkat tema “Menangani Pelecehan Seksual: Hukum dan Etika di Lingkungan Kampus”.

Dalam sambutannya, Executive Chairman Paham Hukum Boy Kresendo Situmorang, S.H menyampaikan bahwa Konferensi Nasional Paham Hukum merupakan bentuk kepedulian Paham Hukum terhadap banyaknya kasus pelecehan seksual yang marak terjadi, terkhusus di lingkungan kampus. Untuk itu melalui konferensi tersebut ia mengajak peserta untuk menjadi agen dalam melawan pelecehan seksual, terutama di lingkungan kampus.

Executive Chairman Paham Hukum Boy Kresendo Situmorang, sebagai salah satu narasumber konferensi

Komisioner Komnas Perempuan RI periode 2025-2030 Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D. membuka materi pertama dengan membahas terkait dengan dasar hukum penanganan pelecehan seksual di Indonesia. Ia memaparkan sepanjang 2024, Komnas Perempuan RI menerima setidaknya 10.605 laporan kasus pelecehan seksual. Adapun ternyata 9% diantaranya berasal dari kalangan yang seharusnya dianggap sebagai pelindung, seperti misalnya guru, tentara, polisi, dan tokoh agama.

“Dalam membangun sebuah penanganan dan hukum terkait penanganan dan pelecehan seksual, perlu menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender,” terangnya.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2024-2029 Sri Nurherwati, memaparkan materi

Dalam materi kedua, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2024-2029 Sri Nurherwati, S.H. memaparkan terkait dengan penanganan pelecehan seksual dari sudut pandang LPSK. Menurutnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih belum sepenuhnya berpihak pada perspektif korban. Ia memaparkan bahwa LPSK memiliki peran untuk memberi perlindungan dan rasa aman bagi saksi dan korban pelecehan seksual.

“Terkadang masih banyak saksi dan korban yang takut memberikan keterangan terkait dengan kasus pelecehan seksual. LPSK hadir untuk memberikan sejumlah layanan dan perlindungan agar saksi dan korban mampu memberikan keterangan tanpa adanya intimidasi,” ujarnya.

Dari perspektif Koordinator Bidang Diskriminasi Intoleransi dan Kebijakan Satgas PPK UB Dr. Lucky Endrawati S.H., M.H. menilai kecepatan penanganan kasus kekerasan pelecehan seksual merupakan hal yang paling penting dalam menjamin keadilan bagi korban sepanjang pengalamannya menjadi Satgas PPK UB. Akan tetapi sering terjadi hambatan koordinasi, sehingga menghambat penanganan kasus pelecehan seksual dan tidak memberi kepastian hukum. Selain itu sumber daya manusia juga menjadi kendala yang dialami pihaknya.

Disampaikan Lucky, ia menilai bahwa justru aturan Permendikbudriset No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi masih banyak celah, dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Dalam hal ini, koordinasi yang diatur dalam  Permendikbudriset tersebut membuat koordinasi menjadi sangat panjang dan berpotensi menimbulkan proses penanganan pelecehan seksual di lingkungan kampus yang berlarut-larut. Ia meluruskan bahwa Satgas PPK hanya punya wewenang untuk memberikan rekomendasi, sedangkan sanksi hanya bisa dilakukan oleh rektor. Hal tersebut menimbulkan kendala, karena terkadang terjadi perbedaan antara rekomendasi Satgas PPK UB dan sanksi yang dijatuhkan lebih rendah.

Pembicara terakhir, Ketua Divisi Penanganan Satgas PPKS Lena Hanifah, S.H., LL.M, Ph.D. mengamini bahwa perluasan kewenangan Satgas PPKS sebagaimana diatur dalam Permendikbudriset No. 55 Tahun 2024 justru menimbulkan kendala penanganan. Sebab, ia menuturkan bahwa kasus yang ditangani sudah cukup banyak dan sibuk, dalam hal ini sepanjang 2024, Satgas PPKS ULM menerima setidaknya 66 kasus. Dari kasus tersebut beberapa diantaranya adalah laporan yang menggunakan fitur anonim. Ia memaparkan bahwa fitur anonim ini bisa digunakan oleh korban yang ingin merahasiakan identitasnya untuk berdiskusi dengan pihaknya.

“Kendala lain yang kami hadapi adalah ketika korbannya laki-laki. Karena ketika korbannya perempuan, maka Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dapat lebih mudah membantu, sedangkan kalau laki-laki dewasa tidak masuk kewenangannya,” pungkasnya.

Acara ini menjadi momentum penting dalam memperkuat sinergi antar lembaga dan masyarakat kampus untuk membangun sistem perlindungan yang lebih responsif, adil, dan berpihak pada korban. Dengan semangat kolaboratif yang ditunjukkan dalam Konferensi Nasional ini, dengan peserta hadir lebih dari 300 orang dari berbagai kalangan  diharapkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi semakin optimal dan berkelanjutan. [FIM/Rma/Humas FH)