Kampanye Pemilu 2024 Berakhir, Ini Ulasan Akademisi UB

Kampanye Pemilu 2024 telah resmi berakhir, Sabtu (10/2/2024) lalu. Sebelum 14 Februari, semua pihak menjalani masa tenang. Lalu bagaimana penilaian akademisi Universitas Brawijaya selama kampanye Pemilu 2024?

Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UB, Prof Rachmat Kriyantono S.Sos., M.Si., Ph.D menilai pada Pemilu 2019 hanya terjadi polarisasi yang disebabkan politik identitas dan banyak terkonstruksi di grassroot.

“Muncullah politik atribusi yang membagi rakyat ke dalam dua kelompok besar, cebong dan kampret. Tetapi, polarisasi ini tidak berdampak serius pada kerusakan demokrasi dan sistem hukum kita,” ucapnya, Senin (12/2/2024).

Namun menurut dosen yang akrab disapa RK ini, Pemilu 2024 ini memanas karena sumbernya adalah kalangan elit.

“Pemicu utama adalah sikap dan perilaku politik Presiden. Kasus MK, majunya gibran, pernyataan presiden bahwa dia boleh kampanye, keputusan DKPP telah memunculkan isu hilangnya etika dalam praktek politik dan demokrasi,” paparnya.

Dalam kacamata Ilmu Komunikasi, RK menilai Presiden sebagai komunikator politik telah mereduksi kepercayaan publik, yakni publik sudah tidak percaya jika pemilu akan berjalan tanpa kecurangan.

“Inkonsistensi pesan sekarang ini banyak disuguhkan, baik inkonsistensi pesan varbal dan nonverbal. Misalnya, menginstruksikan aparat netral, tapi foto presiden bersama satu capres dan parpol tertentu berjejeran di semua daerah,” paparnya.

Penulis buku Teknik Praktis Riset Komunikasi ini menganggap penguatan pesan kunci pada pasangan calon 01 dan 03 memperkuat positioning mereka.

“Karena isu etika dan netralitas membuat polarisasi posisi bahwa 02 adalah paslon status quo, paslon lainnya oposisi,” ucap RK.

Karena itulah, dia menilai kegiatan seperti Desak Anies atau Tabrak Prof mempunyai positioning kuat untuk membangun image bisa mengubah dan memperbaiki kondisi rakyat.

“Desak Anies dan Tabrak Prof merupakan sarana komunikasi untuk membangun image sebagai paslon yang merakyat dan peduli rakyat. Ada faktor homofili, yakni kesesuaian pesan komunikator dengan kebutuhan rakyat, yang membuat komunikasi efektif.Ada edukasi politik melalui diskusi dan berbagi opini dengan rakyat. Kapasitas intelektual, pengalaman, dan kapasitas komunikasi seorang paslon sangat teruji di model kampanye ini,” sambung RK.

Sementara itu, penyebutan gemoy hingga samsul, menurut RK menunjukkan paslon dengan kapasitas gagasan yang kurang hingga pengalaman yang kurang.

“Namun harus diakui gimmick tersebut bisa meningkatkan awareness publik, tapi jika publik kita sudah terliterasi secara baik justru kondisi akan berbalik,” katanya. (*/OKY/Humas UB)