Guru Besar The University of Queensland Beberkan Potensi Kohesi Sosial di Indonesia

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) menggelar Guest Lecture bertajuk “What Humanities and Social Sciences Can Bring to Social Cohesion” pada Jumat (11/4/2025) di Ruang 7.2 Gedung C FISIP UB. 

Kuliah tamu ini menghadirkan narasumber internasional, Professor Heather Zwicker, Pro-Vice Chancellor for Campus, Culture and Leadership dari The University of Queensland, Australia.

Dalam sambutannya, Dekan FISIP UB, Prof. Anang Sujoko menyampaikan pentingnya topik ini di tengah kondisi sosial saat ini yang semakin kompleks dan cenderung menghindari interaksi sosial. 

Anang Sujoko berharap materi yang dibawakan dapat menginspirasi mahasiswa untuk mencari topik penelitian atau membentuk sudut pandang baru dalam merespons fenomena sosial kontemporer. 

“Kami menghadirkan pemateri yang sangat tepat dan relevan dengan isu ini. Di bidang ilmu sosial dan humaniora, kita bisa belajar bagaimana ilmu ini berkontribusi terhadap kohesi sosial,” tambahnya.

Memasuki sesi penyampaian materi, Professor Heather menjelaskan bahwa kohesi sosial adalah ikatan dan relasi yang menyatukan masyarakat. 

Kohesi ini meliputi nilai bersama, rasa memiliki, kepercayaan terhadap institusi, pengurangan ketimpangan, serta solidaritas antar individu dan komunitas.

Lebih lanjut, Heather memperkenalkan konsep social license—yakni persetujuan informal dari masyarakat terhadap keberadaan suatu organisasi. 

Dalam konteks perguruan tinggi, social license kini sangat bergantung pada kemampuan institusi untuk memperkuat kohesi sosial.

Beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam membangun kohesi sosial antara lain keragaman yang semakin kompleks, kehadiran digital yang tak terelakkan, ketimpangan ekonomi, polarisasi serta narasi sejarah yang saling bersaing.

Professor Heather  juga menyinggung fenomena demagoguery—yakni aktivitas politik yang lebih menekankan pada emosi dan prasangka ketimbang rasionalitas. Menurutnya, hal ini memperparah perpecahan sosial dan menjauhkan masyarakat dari dialog yang konstruktif.

Lebih lanjut, Heather menyampaikan bahwa kohesi sosial bukan hanya isu lokal, tetapi merupakan persoalan global yang tengah dihadapi berbagai negara termasuk Australia. 

Dia mencontohkan bagaimana negara-negara maju kini berjuang mempertahankan kepercayaan publik terhadap institusi, menangani ketimpangan sosial serta memperkuat rasa kebersamaan di tengah masyarakat yang semakin beragam.

Di Australia, menurut Heather, tantangan kohesi sosial banyak berkaitan dengan isu multikulturalisme, relasi antara masyarakat adat dan non-adat, serta meningkatnya individualisme akibat tekanan ekonomi dan dominasi media digital. 

“Kami melihat bagaimana ketimpangan wilayah dan sejarah panjang eksklusi terhadap masyarakat adat terus memengaruhi kepercayaan sosial. Situasi ini mirip dengan dinamika sosial yang juga saya lihat di Indonesia,” ungkapnya.

Dia menyoroti bahwa Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serupa, seperti polarisasi politik, ketimpangan ekonomi, dan konflik sosial berbasis identitas yang diperparah oleh media sosial. 

Heather menekankan bahwa universitas memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk tidak hanya mempelajari fenomena ini, tetapi juga terlibat aktif dalam mencari solusi.

“Universitas harus menjadi ruang bagi diskursus publik yang sehat, menciptakan pengalaman budaya bersama, dan menjembatani perbedaan antara yang global dan yang lokal,” jelasnya. 

Kuliah tamu ini diharapkan membuka wawasan mahasiswa mengenai peran vital ilmu sosial dan humaniora dalam membangun masyarakat yang lebih kohesif dan adil. (Atho-Humas FISIP/Humas UB)