FH Petakan Potensi Pencegahan Kekerasan Seksual di MA dan Ponpes

Peserta bersama penyelenggara berfoto bersama
Peserta bersama penyelenggara berfoto bersama

Sulit menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum pengajar di lembaga pendidikan berbasis agama karena budaya patriarkis dan kuatnya relasi kuasa pelaku dengan korban yang kebanyakan dari masyarakat yang kurang mampu. Ini dikemukakan perwakilan LBH Surabaya Pos Kota Malang pada Focus Group Discussion (FGD) dengan Tema Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren Kota Malang, .

Oleh karenanya inisiatif Fakultas Hukum UB ini disambut baik dan diapresiasi perwakilan lembaga terkait kekerasan seksual. “FGD ini memperkuat jejaring pencegahan kekerasan seksual di madrasah dan pesantren di Kota Malang, ” ujar Sri Wahyuningsih, Ketua WCC Dian Mutiara, Kamis (3/8/2023).

Kegiatan FGD ini  dihadiri  puluhan perwakilan lembaga yakni Kementrian Agama Kota Malang, Dinas Pendidikan Kota Malang, Bagian Hukum Kota Malang, Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal Muhammadiyah Kota Malang, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama Kota Malang (RMI), Advokat dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU Kota Malang, LBH Surabaya Pos Kota Malang, Woman Crisis Center Diana Mutiara, Pondok Pesantren Nurul Furqon, MAN 1 Kota Malang, Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh, Pondok Pesantren Sabilurrosyad, dan Pondok Pesantren Al-Hikam.

Dr. Fachrizal Afandi, Ketua Tim Dosen Pengabdian kepada Masyarakat FH , menyampaikan, diskusi ini merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan berbasis agama pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan juga Peraturan Menteri Agama nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Ia menyebut bahwa ikhtiar pencegahan kekerasan seksual ini perlu dilakukan untuk menjaga marwah pesantren dari stigmatisasi berlebihan akibat segelintir oknum pengajar yang dipidana karena melakukan tindak pidana kekerasan seksual.

Perwakilan dari Kementerian Agama Kota Malang mengakui belum ada sosialisasi berkaitan dengan Peraturan Menteri Agama nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan yang mereka naungi. Oleh karenanya Kemenag menyambut baik inisiatif ini dan berharap ada kerja sama yang lebih konkirt di masa mendatang dengan para pihak terkait untuk semakin memasifkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kota Malang.

Senada dengan Kemenag, perwakilan  Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal Muhammadiyah Kota Malang dan juga RMI PCNU kota Malang sepakat bahwa pesantren dan lembaga pendidikan berbasis agama yang lain harus bisa menjadi rumah yang ramah dan aman dari kekerasan bagi anak.

Salah satu rekomendasi yang mengemuka dari FGD ini adalah perlunya MoU antara Lembaga Pendidikan berbasis agama dengan para pemangku kepentingan yang dapat membantu optimalisasi pencegahan kekerasan seksual seperti lembaga konseling, psikolog, lembaga bantuan hukum atau lembaga lain yang relevan.

Tim pengabdian FH UB sendiri telah berkomitmen untuk menyusun modul pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagai luaran pengabdian yang akan disampaikan pada kegiatan workshop lanjutan yang ditujukan untuk para guru, pengasuh pesantren dan santri di bulan September 2023.

Program Pengabdian kepada Masyarakat ini merupakan program yang dibiayai oleh Badan Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat FH UB. Tim ini beranggotakan Ladito Risang Bagaskoro dan M Syafrizal Basori serta dibantu tim mahasiswa FH UB.

Program terlaksana bekerja sama dengan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) dan Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), kegiatan FGD ini bertujuan memetakan potensi pencegahan serta cara yang tepat dalam menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi pada lingkungan Pendidikan berbasis agama terutama Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren.[tim/siti-rahma}