FH Gelar Diskusi Restorative Justice Bagi Korban Perkosaan

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya megadakan Diskusi rutin bulanan mengangkat Tema Restorative Justice Bagi korban perkosaan.

Acara ini diadakan secara virtual pada Kamis tanggal (4/3/2021).

Diskusi ini diselenggarakan karena salah satu ungkapan dari Mahfud MD selaku Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Negara yang dianggap keliru tentang bagaimana Restorative Justice itu sendiri.

Pada salah satu diskusi Mahfud mengatakan bahwa Restorative Justice diartikan sebagai penerapan keadilan yang hanya mengedepankan tahap-tahap masyarakat tanpa memperhatikan perlindungan dan penguatan korban Perkosaan itu sendiri.

Padahal Menurut Rezky Pratiwi ada banyak dampak yang dialami korban seperti luka fisik menular, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman bahkan secara psikologis seperti depresi, ketakutan, menyalahkan diri sendiri dan upaya bunuh diri.

“Dengan tekanan psikologis itu secara sosial dan ekonomi tertentu korban mengalami dampak penolakan yang kemudian bisa berimbas pada berkurang atau bahkan hilangnya penghasilan korban,”kata Rezky.

Nathalina Naibaho menambahkan ketika seseorang menjabat sebagai pejabat publik apabila ada opini yang sifatnya personal harus dibatasi karena ketika seseorang duduk di jabatan publik maka akan menjadi konsumsi publik dan apa yang disampaikan akan menjadi perhatian.

“Jadi kalau sifat opininya personal maka lebih baik disimpan sendiri saja,”katanya.

Kemudian Lena Hanifah berpendapat bahwa ada banyak kendala yang dialami korban salah satunya diasingkan oleh lingkungan tempat ia tinggal, dan bagaimana penangananpun jarang sekali ada yang memihak pada korban, contohnya pada masyarakat adat adaya uang denda yang kebanyakan dibagikan oleh masyarakat tersebut karena menangung korban perkosaan tersebut, sehingga apa yang menjadi hak korban terus dikesampingkan.

Dari tiga pembicara tersebut dapat disimpulkan bahwa interpretasi dan implementasi dari restorative Justice khususnya untuk korban perkosaan ini sangat kontekstual dan sangat berbahaya jika dimaknai sebagai pengertian perkara sebagai perlindungan terhadap pelaku yang seharusnya menjadi perlindungan bagi para korban.[FDA/Humas UB].