Zona Integritas, Manajemen Wasathiyah dan Akuntabilitas Aturan

Sorry, this entry is only available in Indonesia.

Lembaga pemerintah, termasuk perguruan tinggi negeri (PTN) telah banyak yang mencanangkan Zona Integritas di wilayah kerja masing-masing. Sebenarnya, hal ini bukan sesuatu yang baru dan istimewa karena integritas merupakan prinsip pelayanan publik yang melekat pada semua lembaga pemerintah sebagai badan publik. Prinsip ini telah diamanatkan dalam berbagai peraturan, seperti UU No 25/2009, UU No 14/2008, UU No 20/2023, Perpres No 81/2020, Perpres No 54/2018, Permenpan-RB No 10/2019, Permenpan-RB No 90/2021, dan Permenpan-RB No 60/2020. Khusus PTN, berbagai aturan tersebut diurai ke dalam peraturan rektor. Untuk Universitas Brawijaya (UB), tempat saya bekerja misalnya, zona integrasi diatur dalam Pertor UB No 29/2020 dan Pertor UB No 30/2020.

Karena itu, pencanangan zona integritas ini lebih berfungsi sebagai pengingat dan momentum bagi Aparatur Sipil Negara (sivitas akademik) di PTN untuk mengimplementasikan komitmen melaksanakan fungsi pelayanan publik yang prima, bersih, terhindar dari korupsi, bersifat melayani, transparansi, dan akuntabel di wilayah kerja (zona) masing-masing. Secara konseptual, integritas mencakup accountability, competence, ethic dan self-control of corruption (Galtung, 2009). Artinya, integritas merupakan perpaduan akuntabilitas peraturan (sistem tata kelola), kompetensi, dan ethos ASN sehingga bahasan integritas selalu melekat pada program reformasi birokrasi.

Korupsi sebagai Sasaran Zona Integritas

Dalam berbagai peraturan di atas, korupsi merupakan perilaku yang menjadi sasaran utama untuk dicegah dan dihindari lewat reformasi birokrasi dan pencanangan zona integritas.

Hal ini sangat beralasan karena proses pelayanan publik selama ini menjadi pemicu munculnya korupsi dan pada akhirnya korupsi membuat proses pelayanan publik berjalan tidak efektif. Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dirilis Kompas (5/7/2023) menyebut bahwa Indeks Integritas Pendidikan 2022 yang diperoleh dari Survei Penilaian Integritas Pendidikan (SPIP) adalah 70,40; dan perguruan tinggi mendapat indeks terendah, 67,69.

Times Indonesia (31/7/2023) menyebut bahwa terdapat 37 kasus korupsi di PTN Januari-Juli 2023 itu yang sedang diproses. Fakta ini menunjukkan makin tinggi jenjang pendidikan makin membuat integritas menurun. Hal ini terkoneksi dengan berita Times Indonesia (24/10/2021) tentang pernyataan Prof Mahfud MD (Menkopolhukam) bahwa 87% koruptor berpendidikan minimal S-1.

Namun, karena integritas mencakup aspek SDM keberhasilan Zona Integritas di PTN juga ditentukan oleh manajemen internal. Terkait hal ini, ada dua hal penting yang sering kita lupakan, yakni manajemen wasathiyah dan akuntabilitas norma.

Manajemen Wasathiyah

Agama Islam sebagai fondasi dan grand-theory ilmu pengetahuan telah mengajarkan prinsip integritas ini. Konsep integritas bisa saya sebut sebagai i’tidal, yakni tegak lurus pada aturan, prosedur, tata kelola, maupun profesionalitas profesi sehingga mampu melaksanakan fungsi pelayanan publik yang prima, bersih, bebas dari korupsi, bersifat melayani, transparan, dan akuntabel, yang termuat dalam berbagai peraturan di alinea sebelumnya.

Pertama, integritas (I’tidal) ini harus dilaksanakan secara terpadu dan tidak bisa dilepaskan dengan beberapa dimensi lainnya, yakni tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Perpaduan keempat dimensi ini (tawasuth, tawazun, tasamuh, dan I’tidal), saya sebut sebagai “Manajemen Wasathiyah”. Agama meminta kita untuk menjadi ummatan wasathan (umat moderat, pertengahan, dan menjaga keseimbangan).

Tawasuth adalah bersikap adil. Zona Integritas harus diikuti upaya membangun sistem merit yang baik (antara lain kejelasan reward dan punishment dan sistem karir yang baik), peningkatan kesejahteraan, dan adil dalam bersikap dan bertindak dalam implementasi kebijakan.

Zona integritas akan terkendala implementasinya jika sivitas akademik masih berkutat pada “masalah perut” atau isu kesejahteraan. Kaidah fiqih sudah mengatur bahwa tasharuful imam ‘alar ra’yyah manuthun bil mashlahah (Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan). Kemaslahatan yang utama tentunya adalah kesejahteraan dan keadilan. Hal ini relevan dengan Hadis Kanjeng Nabi SAW, yakni saat ditanya sahabat, “Ya Rasulullah, apa yang utama dalam Islam. Rasulullah menjawab: “memberi makan”.

Dalam konteks lembaga, “memberi makan” ini bisa dimaknai peningkatan kesejahteraan. Kesejahteraan bisa mencakup remunerasi dan insentif kerja yang sesuai atau kemudahan pengurusan pangkat dan jabatan fungsional.

Dalam Teori Hygiene Motivation, aspek kesejahteraan bisa mempengaruhi komitmen pada pencapaian visi lembaga, meskipun seseorang tetap termotivasi pada profesinya (Dosen masih senang dan sungguh-sungguh mengajar, tetapi, komitmen pada tugas yang lain bisa terganggu)

Tawazun adalah upaya untuk bersikap komprehensif dan multi-perspektif dalam tata kelola lembaga. Sebuah isu dan permasalahan harus disikapi dengan mendialogkan berbagai perspektif, berbagai peraturan, dan berbagai konteks sehingga mampu disolusikan secara komprehensif dan tidak kaku pada satu perspektif.

Dalam Ilmu Komunikasi, sebuah peraturan merupakan sistem simbol (pesan). Sistem simbol (Pesan) ini tidak berjalan dalam ruang hampa, tetapi, juga berjalan dalam konteks-konteks sosial, budaya, psikologis, dan sosial. Pesan itu tidak hanya berisi konten/isi pesan saja, tetapi, juga mengandung dimensi hubungan atau interaksi, yang bahkan sangat menentukan efektivitas pesan itu sendiri. Karenanya, dialog peraturan sebagai isi pesan dengan konteks-konteks sebagai dimensi hubungan sangat penting dilakukan secara komprehensif.

Contoh, ada proses pengajuan jabfung seorang dosen, yakni penilaian aspek sikap/etika di Rapat Senat Fakultas. Ternyata, PAK (Penilaian Angka Kredit) dosen tersebut baru disampaikan kepada saya selaku Ketua Departemen untuk ditandatangani setelah rapat tersebut. Memang, aturannya adalah tanda tangan berkas PAK dahulu baru dirapatkan senat. Tetapi, saya tidak mempersoalkan dengan meminta rapat senat ditunda. Saya mempertimbangkan aturan lain tentang percepatan jabfung dan peningkatan kualifikasi SDM, program menperbanyak dosen dengan jabfung tertinggi, dan jabfung adalah rezeki seseorang. Inilah contoh tawazun, yakni mendialogkan antar peraturan dan konteks sosial, tidak hanya fokus berpijak pada satu peraturan atau satu pendekatan.

Tasamuh adalah toleransi pada keberagaman. Keberagaman ini bisa mencakup keberagaman pendapat, sikap, mazhab, maupun keberagaman sosio-demografis dan psikografis sivitas akademik. Integritas pun bisa dimaknai sebagai tiadanya diskriminasi kebijakan hanya karena suatu perbedaan.

Akuntabilitas Norma

Faktor kedua adalah kejelasan norma, yakni yang mencakup aturan dan prosedur (SOP) atau tata kelola. Kejelasan norma ini merupakan pondasi integritas yang mencakup semua aspek manajemen (mulai perencanaan hingga evaluasi). Semua norma harus transparan dan akuntabel dalam proses pembuatan hingga implementasinya.

Di PTN, remunerasi dan insentif kerja sering menjadi isu penting. Dimungkinkan, para dosen merasa tidak mendapatkan kejelasan tentang mengapa insentif kerja menurun. Sebenarnya, penilaian kinerja, yang beroutput pada besar-kecilnya insentif kerja, harus mendasarkan pada suatu norma evaluasi yang transparan dan kredibel. Norma ini yang menentukan apakah seseorang mendapatkan penilaian kerja 100%, 90%, 80%, 67% dan seterusnya.

Tentunya, berdasarkan manajemen wasathiyah di atas, norma-norma ini harus didialogkan dengan sesama norma yang lain maupun konteks-konteks yang terjadi. Misalnya, bagaimana standar penilaian untuk menentukan penilaian kinerja? Apakah, misalnya, seseorang yang tidak hadir pada semua undangan rapat dianggap tidak berkinerja baik? Apakah hanya IKU satu-satunya standar kinerja? Bagaimana dengan kerja yang tidak tercantum dalam IKU?

Jika seseorang dianggap kinerjanya kurang baik berdasarkan norma evaluasi yang jelas, maka akan lebih baik tidak langsung dilakukan pengurangan insentif (meski secara aturan diperbolehkan). Lebih baik lewat mekanisme komunikasi, seperti teguran/peringatan lisan/tertulis lebih dahulu, termasuk strategi rotasi. Prinsipnya, jika lembaga tidak bisa menambah maka jangan mengurangi pendapatan.

Bagaimana Jika Tidak?

Saya berpendapat bahwa jika kedua faktor tersebut di atas (Manajemen Wasathiyah dan Akuntabilitas Norma) tidak ada maka, alih-alih zona integritas berjalan, yang terjadi adalah dua dampak negatif. Pertama, jika integritas (I’tidal) tercerabut dari tiga dimensi manajemen wasathiyah yang lain maka terjadi reduksi pada aspek kemanusiaan kita. Kita bagaikan human-mechanism, seperti manusia robot yang kaku dan hanya berjalan berdasarkan aturan-aturan.

Kedua, jika integritas tidak mempunyai pondasi norma yang transparan dan akuntabel maka bisa memunculkan inkonsistensi kebijakan dan ketidakadilan (kezaliman). Inkonsistensi kebijakan dan ketidakadilan (kezaliman) bisa mengganggu komitmen dan kebersamaan dalam mencapai visi lembaga.

Hilangnya prinsip manajemen wasathiyah dan akuntabilitas norma dalam program zona integritas bisa membuat zona integritas kehilangan integritasnya sendiri. (RK).

Penulis : Prof. Rachmat Kriyantono S.Sos., M.Si., Ph.D.

Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat Departemen Ilmu Komunikasi FISIP-UB

  From Kolom