Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) kembali mengadakan Online Lecture dengan Tema “Criminal Procedure Law Reform In The Netherlands and Indonesia”, Rabu (01/06/2022).
Kegiatan ini merupakan Seri keempat atau seri terakhir dari rangkaian Penataran Daring atau Online Lecture Series (OLS) kerja sama PERSADA UB dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Instituut voor Strafrecht & Criminologie, Faculteit der Rechtsgeleerdheid Universiteit Leiden, serta Nuffic Neso-NL Alumni Network Indonesia.
Hari keempat rangkaian kegiatan OLS yang bertemakan “Pemenuhan Hak Korban dalam Peradilan Pidana”, dihadiri 2 (dua) orang narasumber yang ahli dibidangnya yaitu Dr. Pinar Olcer dari Universiteit Leiden dan Zaenal Abidin dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati membuka diskusi dengan menyampaikan tantangan pada klaim kerugian korban restorasi berdasarkan Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP yang seharusnya secara hukum dapat direformasi melalui pembentukan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menjelaskan hak apa yang dapat direstitusi.
Salah satunya yakni ganti rugi dari korban sepenuhnya menjadi tanggung jawab terdakwa atau pihak ketiga yang ditunjuk dan LPSK dalam fungsinya melindungi hak bagi korban membantu menghitung kerugian yang dialami.
Materi pertama disampaikan oleh Dr. Pinar Olcer, yaitu tentang bagaimana menegakkan hak korban tindak pidana. Perkembangan dari hak korban pada awalnya dimulai dari tahun 1926 di Belanda, melaporkan bahwa saksi kejahatan mempunyai hak untuk menolak penuntutan dan memiliki kemungkinan yang terbatas dalam menuntut kerugian sebagai pihak yang terlibat. Namun dewasa ini, sudah ada penanganan yang lebih baik berupa perlindungan kepada korban dan kerugian yang dialami sebagai orang yang dirugikan dibatasi oleh kriteria bahwa klaim tersebut tidak akan menghasilkan beban yang tidak proporsional terhadap penanganan tindak pidana termasuk penghitungan kerugian secara konkuren.
Kemudian materi kedua disampaikan oleh Zaenal Abidin, yaitu mengenai improvisasi apa yang dapat dilakukan oleh hukum dalam melindungi korban. Di mana hak korban harus memiliki regulasi di bidang hukum manapun dan seharusnya diatur lebih jelas bukannya diatur tanpa referensi yang jelas atau koheren dari satu hukum dengan hukum yang lain. Kemudian dijelaskan bahwa tidak seharusnya ada kompensasi untuk tindak pidana umum, melainkan hanya tindak pidana khusus seperti genosida, terorisme dan kejahatan seksual.
Selanjutnya, M. Tanziel Aziezi, yang merupakan Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) selaku moderator dalam kegiatan ini juga turut memberikan pandangannya bahwa kita seharusnya membuat pergerakkan dalam metode komprehensi terkait pengembangan keadilan restoratif untuk menjamin adanya perlindungan hak saksi dan korban.
Kegiatan ini dihadiri 100 peserta terpilih dari kalangan akademisi, praktisi, dan peneliti di seluruh Indonesia maupun beberapa negara lainnya. Tujuan diselenggarakannya OLS adalah untuk membahas mengenai perkembangan reformasi hukum acara pidana, dinamika reformasi hukum yang ada di Indonesia dan Belanda, serta prinsip-prinsip dasar hukum acara pidana.
Tiga seri sebelumnya telah dilakukan pada tanggal 11, 18, 25 Mei 2022. Pada penutupan OLS ini para peserta menyampaikan apresiasinya. “Materi yg disampaikan para pemateri Sangat inspiratif dan menambah wawasan akan pengembangan hukum Pidana ke depannya. Terimakasih panitia, para materi dan para moderator utk webinar series ini,” ungkap Sri Humana L., S.Sos., M.H. dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sementara itu Nimas Inge Pinky Valia Anastasia Mulyadi, S.H, dari Balai Pemasyarakatan Kelas II Fakfak, Papua Barat, yang menyampaikan, “Sangat luar biasa seluruh panitia, juga para pemateri dan materi yg disampaikan pada lecturer series hari ini. Semoga kegiatan yang telah dilaksanakan dapat bermanfaat”. [PERSADA/Humas UB]