Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) kembali menyelenggarakan penataran secara daring, Rabu (18/05/2022). Kegiatan ini masih dalam rangkaian lecture series PERSADA UB bekerja sama dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Instituut voor Strafrecht & Criminologie, Faculteit der Rechtsgeleerdheid Universiteit Leiden, dan Nuffic Neso-NL Alumni Network Indonesia dengan Tema “Criminal Procedure Law Reform In The Netherlands and Indonesia”.
Hari kedua Online Lecture Series ini mengangkat tema “Kewenangan Penyidikan Polisi dan Peran Jaksa Penuntut Umum”, dimana telah hadir dua narasumber yang ahli dibidangnya, yaitu Prof. Jan Crijns dari Universiteit Leiden dan Fachrizal Afandi, Ph.D dari Universitas Brawijaya.
Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Adery Ardan Saputro, LL.M membuka diskusi dengan menyampaikan Clash of Power Between Police and Prosecutor in Indonesia’s Criminal Justice System. Ia menjelaskan mengenai hubungan antara kepolisian dengan kejaksaan yang selama ini memiliki tantangan besar pada integrasi dan koordinasi terkait dengan pelaksanaan hukum di Indonesia.
Materi pertama yang disampaikan oleh Fachrizal Afandi, Ph.D mengenai proses penuntutan yang dilaksanakan di Indonesia, termasuk tensi politik yang timbul antara polisi dan jaksa penuntut umum terkait kewenangan dalam proses pra ajudikasi.
“KUHAP yang diundangkan pada tahun 1981 menerapkan prinsip diferensiasi fungsional yang membuat upaya paksa dan tindakan penyidik tidak mendapatkan supervisi dan kontrol penuh dari penuntut umum dan hakim,” papar Fachrizal.
Padahal menurutnya, secara konsep penuntutan adalah proses pencarian dan pengumpulan bukti sejak awal penyidikan untuk di bawa di persidangan. Alat bukti inilah yang akan di bawa jaksa ke pengadilan untuk diperiksa dalam proses persidangan di pengadilan yang terbuka untuk umum.
Sementara itu, Prof. Jan Crijns menyampaikan Hukum Acara Pidana yang berlaku di Belanda terkait dengan kewenangan penyelidikan yang dimiliki kepolisian dan peran dari kejaksaan. Ia juga menjelaskan fase penyelidikan yang perlu diketahui yakni kewenangan melakukan penyelidikan, dan pentingnya untuk melaksanakan kontrol terhadap upaya paksa di tahap pra ajudkasi.
Selanjutnya, Iftitahsari, S.H., M.Sc. yang merupakan peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku moderator turut memberikan pandangan bahwa kejaksaan akan punya ruang khusus untuk menjadikan suatu perkara harus diselesaikan dengan cepat atau tidak, sehingga terkadang menimbulkan permasalahan baru dalam pengimplementasiannya terutama pada bagian koordinasi dan integrasi antara kepolisian dengan kejaksaan dalam proses penyelidikan dan penuntutan.
Kegiatan ini diikuti 100 peserta terpilih dari kalangan akademisi, praktisi dan peneliti di seluruh Indonesia maupun negara lain dan mendapatkan respon baik dari berbagai pihak, salah satunya Herni Sri Nurbayanti, SH, MA, dari Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2).
“Sesi ini sangat menarik, karena tidak hanya mencakup aspek hukum, tetapi juga aspek sejarah dan politik. Terima kasih,” ungkap Herni.
Kegiatan penataran PERSADA diselenggarakan sebanyak empat kali, yakni mulai dari tanggal 11, 18, 25 Mei dan berakhir pada 1 Juni 2022. Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk membahas perkembangan reformasi hukum acara pidana, dinamika reformasi hukum yang ada di Indonesia dan Belanda dan prinsip-prinsip dasar hukum acara pidana. [PRSD/Irene]