DIK Gelar Bonsai Undang Pakar Bidang Mitigasi Bencana dan Kegunungapian

Sorry, this entry is only available in Indonesia.

Prof. Sukir Maryanto (kanan) Saat Memberikan Materi
Prof. Sukir Maryanto (kanan) Saat Memberikan Materi

Divisi Informasi dan Kehumasan (DIK) kembali mengadakan kegiatan Bincang dan Obrolan Santai (BONSAI) Bersama Pakar UB. Kegiatan yang kali ini diadakan di Agro Techno Park (ATP) Cangar, Jumat (24/11/2023) mengundang Pakar Bidang Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Daya Alam khususnya Kegunungapian dan Panas Bumi yaitu Prof. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D.

Dalam pemaparannya di hadapan sejumlah wartawan, Prof Sukir memaparkan bagaimana layaknya masyarakat bisa Hidup Harmoni dengan Gunung Api dan Panas Bumi mengingat Indonesia khususnya Pulau Jawa dikelilingi Cincin Api atau Ring Fire.

Ring of Fire adalah sebutan dari Cincin Api Pasifik meliputi wilayah Indonesia yang menyebabkan rawan dilanda bencana gempa bumi hingga gunung meletus.

Prof. Sukir mengatakan karena di Jawa Timur atau Indonesia pada umumnya, potensi panas bumi sekitar 80% merupakan panas bumi yang berasosiasi dengan gunung api. Sehingga perlu dibukukan semua potensi yang ada, agar keberlanjutan dan kebermanfaatan bidang ini akan terjamin.

Kegiatan yang mengundang pemateri Pakar Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Daya Alam khususnya Kegununapian dan Panas Bumi, Prof. Ir. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D tersebut membicarakan bahwa keberadaan gunung api memberikan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat sekitar, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya anatara lain, sebagai sumber kehidupan (gunung, sungai, ekologi, dan mata air), penyedia potensi panas bumi, sumber penyedia unsur-unsur mineral dan hara dalam menyuburkan tanah dan sumber tambang serta sebagai sumber penunjang ekonomi masyarakat (pariwisata, pertanian, UMKM, dll).

Meskipun banyak dampak positifnya, namun perlu juga diperhatikan dampak negatifnya, sehingga keberadaan kedua potensi tersebut harus disikapi dengan bijak. Hal ini memberikan tantangan tersendiri karena belum optimalnya pengelolaan potensi sektoral di kawasan kaki gunung api serta belum masifnya terkait monitoring kebencanaan kawasan gunung api. Jadi diperlukan kebijakan yang seimbang dalam segala aspek terkait dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan gunung api.

Prof Sukir menjelaskan hidup berdampingan dengan gunung berapi perlu adanya kesadaran dari dalam diri masyarakat maupun semua stake holder terkait kebencanaan, dalam kata lain kesadaran kebencanaan secara berangsur harus diubah menjadi budaya sadar bencana pada segenap lapisan masyarakat dan lintas sektoral dan lintas. Untuk mengubah kesadaran diri menjadi suatu budaya terhadap kebencaan dibutuhkan usaha yang sangat besar, hal ini bisa dilakukan dalam bentuk school watching dan town watching.

School watching kan lingkupnya di sekolah kalau town watching kan lingkup nya di kota atau desa mereka sendiri. Maksudnya adalah masyarakatlah yang bisa mengamati potensi bahaya. Kita yang ahli bencana pada saat terjadi bencana tidak berada di tempat tersebut. Oleh karena itu, masyarakatlah yang paham, masyarakat yang bisa, masyarakat yang tahu karakternya yang bisa mengevakuasi dirinya sendiri ketika ada bencana karena mereka yang menghadapinya sendiri,” katanya.

Prof. Sukir menambahkan pengetahuan tentang mitigasi bencana seharusnya menjadi program pemerintah. Kalau perlu bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dengan strategi, jika belum bisa dinasionalkan, bisa dimulai dari kurikulum lokal (muatan lokal dengan kerjasama pada daerah-daerah yang bersedia sebagai perintis).

Dia menambahkan, kurikulum kebencanaan ini perlu ditanamkan sejak pendidikan dasar, mulai dari pendidikan TK. Tentu upaya ini untuk menanamkan dan menumbuhkan kesadaran akan kebencanaan sejak dini.

Selain materi mitigasi bencana yang secara umum, lanjutnya, pengetahuan mitigasi bencana yang disampaikan juga harus terdapat hal yang spesifik. Artinya, juga menyesuaikan dengan kondisi wilayah dimana mereka berada.

“Kurikulum dan pendidikan kebencanaan bisa mengadopsi pendidikan karakter kebencanaan dari Jepang, yaitu town dan school watching. Ketika terjadi bencana, siswa sudah paham apa yang harus dilakukan,” katanya.

Terkait kurikulum kebencanaan ini, pihaknya mengaku telah mengusulkan hal tersebut ke pemerintah. Namun, sampai saat ini masih belum terdapat tindak lanjut terkait kurikulum kebencanaan.  [Humas UB]