Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Belajar dari CSIS Tingkatkan Kemampuan Meneliti

Sorry, this entry is only available in Indonesia.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fisip UB Maulina Pia Wulandari, S. Sos., M.Kom, PhD (kiri bersama narasumber, ) Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, M.Sc.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fisip UB Maulina Pia Wulandari, S. Sos., M.Kom, PhD (kiri bersama narasumber, ) Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, M.Sc.

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya menyelenggarakan Workshop 3in1  Metodologi Penelitian Kualitatif dengan tema Ekspedisi Etnografi di Tanah Papua: (Patologi (Dis) Informasi, Konflik dan “Cipta Kondisi”, Senin-Selasa (09-10/9/2024). Narasumber utama yakni peneliti senior dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Indonesia ( CSIS) Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, M.Sc.

“Etnografi sebagai salah satu metode penelitian kualitatif mengobservasi budaya bersama, nilai, norma, “ ungkapnya pada workshop yang dihadiri mahasiswa baru semester genap angkatan 2023 dan mahasiswa baru angkatan 2024.

Dalam paparannya, Dr. Vidhya banyak menceritakan hasil dan proses penelitian etnografinya di Papua. Penelitian etnografinya itu berjudul “Addressing Disinformation in the Papuan Conflict; Intersectional Actros; Strategies, Motivations, and Funding Sources”. Ia menyoroti adanya berbagai versi cerita yang sengaja dimanipulasi untuk menciptakan disinformasi, yang sering kali digunakan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi.

Upaya “rekayasa kondisi” ini memperpanjang konflik dan mempersulit upaya resolusi.

Temuan menunjukkan bahwa hoaks yang menyentuh emosi masyarakat, terutama melalui platform seperti WhatsApp, telah mempercepat penyebarannya. Isu-isu lokal yang sensitif, seperti diskriminasi dan kebencian sosial terhadap aparat dan imigran, kerap dimanfaatkan untuk meningkatkan ketegangan.

Situasi ini, menurut Dr. Vidhya, menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial di Papua. Laporan tersebut juga menyoroti pentingnya literasi digital dan edukasi masyarakat untuk memerangi hoax. Penanganan yang lebih tegas dari pihak berwenang diperlukan guna mencegah konflik lebih besar di masa depan.

Penelitian etnografi yang dilakukannya merupakan gabungan etnografi di masyarakat dan digital (media sosial). Ia menyampaikan hasil etnografi digital perlu dikonfirmasi ke lapangan.

“Digital etnografi mengajarkan bagaimana mengamati publikasi dari berita-berita, apa yang diproduksi di media sosial harus dikonfirmasi secara langsung di lapangan,” ungkapnya.

Ia memberikan penjelasan mengenai cara untuk memformulasikan permasalahan lanjutan yang dapat dilakukan dengan mencari tahu apa konsekuensi utama dari mis/ dis-informasi online terhadap dinamika konflik di Papua? Bagaimana masyarakat sipil secara langsung dan tidak langsung terkena dampaknya? Bagaimana kita dapat mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi ini? Selain itu, bagaimana mis/disinformasi memperburuk risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di daerah konflik Papua? Siapa saja aktor yang terlibat dalam disinformasi dan manipulasi digital di papua? Bagaimana mereka terhubung dan membangun jaringan mereka? Apa motif mereka? Platform apa yang mereka gunakan/ apa strategi mereka? Siapa target audiens mereka? Dan apa peran aktivisme pemuda Papua dalam konteks disinformasi?

Ia menekankan satu dari ciri etnografi adalah berhasilnya kita mengungkap dari permasalahan yang konflik. Jika melakukan etnografi research harus bisa bertemu dengan sebanyak-banyaknya orang. Lakukan wawancara dan observasi seperti melihat bagaimana interaksi dari warga sekitar.

Pada sesi terakhir, pembicara menekankan bahwa kualitas penelitian etnografi tidak ditentukan oleh jumlah informan, tetapi oleh kedalaman informasi yang diperoleh. Etnografi, menurutnya, bertujuan untuk mengupas lapisan-lapisan sosial dan budaya secara bertahap. Kunjungan pertama biasanya hanya mengungkap permukaan, sedangkan kunjungan-kunjungan berikutnya memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam. Selain itu, disarankan agar peneliti berhati-hati dalam berkomunikasi pada tahap awal, menghindari bahasa, gestur, atau ekspresi wajah yang dapat menyinggung informan.

Seminar ini diharapkan mampu membangun sinergi antara akademisi dan praktisi dalam mengembangkan penelitian bidang ilmu komunikasi yang dapat menjawab tantangan zaman. Dengan pemahaman yang kuat terhadap metodologi penelitian, para peserta diharapkan dapat menghasilkan penelitian yang tidak hanya berkontribusi pada pengembangan ilmu tetapi juga memberikan solusi praktis bagi masyarakat.[serly/sitirahma]