Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) mendapat kehormatan untuk menggelar kuliah tamu dengan mengundang sastrawan dan akademisi kenamaan Indonesia, Dr. Seno Gumira Ajidarma, M.Hum. Dia juga dikenal sebagai esais, wartawan, dan pekerja teater. Lewat karya-karyanya, dia telah meraih banyak penghargaan, di antaranya Dimny O’hearn Prize for Translation, South East Asia Write Award, dan Chatulistiwa Literary Award. Beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Bertempat di Hall Lantai 7 Gedung A FIB UB, kuliah tamu ini dilaksanakan pada Senin (4/11/2024). Selain dihadiri oleh dosen dan mahasiswa FIB UB, kuliah tamu turut dihadiri oleh masyarakat umum.
Dekan FIB UB, Hamamah, Ph.D., turut menyambut Dr. Seno Gumira dengan menyampaikan selamat datang dan terima kasih atas kesediaannya berbagi wawasan dengan semua audiens yang hadir.
“Hari ini kita akan mendengarkan hasil kajian budaya dari Pak Seno. Kajian ini, dari judulnya saja, pasti akan menarik sekali. Tentunya kita sangat menantikan pembahasan dari Beliau. Semoga semakin membuka wawasan dan menginspirasi kita tentang sastra, budaya, dan ilmu humaniora,” ujar Hamamah.
FIB juga turut memberikan cinderamata berupa ukiran kayu berbentuk Topeng Malangan kepada Dr. Seno Gumira.
Kuliah tamu berjudul “Togèlismus Urbaningrum” ini merupakan kajian dari Dr. Seno Gumira mengenai fenomena ramalan kode buntut togèl dalam budaya urban. Dimoderatori oleh M. Fatoni Rahman, M.Pd., kuliah tamu dibuka dengan diskusi yang menarik mengenai budaya perjudian khas Indonesia ini.
“Perjudian sudah muncul dalam narasi-narasi besar sastra kita. Tentu kita sudah mengenal narasi epik tentang kekalahan Yudhistira bertaruh dengan Sengkuni dalam epos Mahabharata. Yang dipertaruhkan juga setengah kerajaan. Sepertinya perjudian itu sudah disimbolkan sebagai pertaruhan yang tidak main-main,” ungkap Fatoni.
Togèl juga turut disebutkan sebagai salah satu perjudian kanon dalam budaya masyarakat Malang.
“Bahkan di masyarakat Malang, dulu ada istilah ngramesi, Pak Seno. Ngramesi itu adalah menafsirkan semua tahwil yang dilihat, kemudian diwujudkan dalam angka. Selain itu, istilah-istilah togèl juga sudah meresap di masyarakat. Contohnya, di sini ada yang disebut dengan sate 02, ini sebenarnya adalah istilah togel, karena 02 itu angka yang melambangkan siput,” tambahnya.
Kini giliran Dr. Seno Gumira menyampaikan hasil kajiannya. Dia membuka kuliah dengan menampilkan baris-komik karya Johnny Hidayat dalam harian Poskota terbitan tahun 2001. Dalam dialog tokoh-tokoh komik tersebut, terdapat angka-angka yang dicetak merah sebagai petunjuk kode buntut togèl.
Perjudian telah menjadi hal yang lumrah di seluruh dunia. Namun, berbeda dengan strategi prediksi hasil judi di bagian dunia lain yang menggunakan teori peluang dan algoritma, masyarakat Indonesia menggunakan rujukan mimpi.
“Ada pola dalam cara meramal ini. Mengandalkan mimpi orang lain. Kalau dia sendiri tidak mimpi, dia tanya tetangganya, ‘mimpi apa?’ ‘ada nomornya atau tidak?’ Kalau tidak mimpi, pertanyaan diganti, ‘kapan kamu lahir?’ ‘umurmu berapa?’ Pokoknya tidak berdasar. Tetapi itu sudah menjadi pola budaya dan hidup terus dengan berbagai variasinya,” jelas Dr. Seno.
Apabila tidak ada satu pun mimpi yang terungkap, kecenderungan merujuk mimpi ini dapat digantikan dengan lembaran-lembaran kode buntut. Lembaran-lembaran ini berisi penanda-penanda yang kemudian akan ditafsirkan menjadi nomor-nomor terakhir hasil undian.
Dr. Seno melihat kode-kode buntut ini sebagai kode budaya dan kemudian membandingkannya dengan teori psikoanalisa mengenai mimpi milik Sigmund Freud.
“Yang tidak terlalu jelas kita ingat adalah isi mimpi laten, sedangkan gambar-gambar yang kita ingat dengan jelas adalah isi mimpi manifes. Tetapi sebenarnya isi mimpi manifes itu juga tidak jelas, karena sudah terkontaminasi dengan kode-kode budaya lain yang juga masuk ke pikiran kita,” ujarnya.
Dalam konteks “kode buntut” atau kode numerik untuk melacak nomor togel, mekanisme ini tentu berbeda dari pendekatan Freud untuk mengungkap sistem pikiran bawah sadar. Namun, cara “kode buntut” diklasifikasikan dalam susastra grafis bernomor menunjukkan adanya semacam proses budaya yang dapat dipelajari dengan pendekatan logis.
Antusiasme audiens tidak berhenti saat pemaparan Dr. Seno Gumira selesai. Dosen dan mahasiswa kembali menunjukkan antusiasmenya dengan melempar pertanyaan kepada Dr. Seno Gumira yang disambut dengan tanggapan yang tak kalah bersemangat. [acl/dts/Humas FIB/Humas UB]