
Banyak komunitas budaya saat ini hidup dan menghidupi berbagai kearifan lokal warisan budaya nenek moyang. Salah satu di antaranya adalah komunitas Budaya H3 (Hurip, Hurup, Handarbeni) di Desa Mangliawan, Kabupaten Malang. Komunitas ini lebih memilih melestarikan budaya desanya yang sangat berkaitan dengan air sebagai sumber hidup.
“Komunitas ini berawal dari keprihatinan kami terhadap sumber air Wendit Lanang yang sekitar tahun 2015 kondisinya sangat memprihatinkan. Di pusat sumber air bersih ini terdapat tumpukan sampah warga yang sangat tinggi. Kondisi ini mendorong kami sebagai warga desa untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk kepedulian. Tidak disangka, semangat ini kemudian mendorong kami untuk tidak hanya berhenti pada konteks pembersihan sumber air Wendit Lanang, tetapi juga pada beberapa aktivitas lain yang masih berkaitan dengan air,” jelas Orin, salah satu pencetus berdirinya Komunitas Budaya H3 ini.
Menurutnya, kesadaran dan semangat komunitas ini semakin bergelora tatkala mereka sampai pada refleksi bahwa air adalah sumber hidup. Mereka meyakini bahwa desa mereka adalah desa yang terberkati daripada di tempat lain. Daerah lain ada yang menderita kekeringan dan kekurangan air, tetapi di desa mereka, air tersedia secara melimpah.
“Bahkan, dari sumber air ini melalui manajemen PDAM, semua warga Kota dan Kabupaten Malang mendapat manfaat untuk kehidupan mereka sehari-hari. Dari sini kami semakin sadar arti dari ungkapan bahwa air adalah sumber kehidupan,” tandas Orin.
Hal ini dipertegas oleh ketua tim Pengabdian kepada Masyarakat dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB), Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel yang menyatakan bahwa komunitas ini hidup dari masyarakat sendiri, dan ini adalah model komunitas yang baik yang akan terus hidup dan bersemangat. Buktinya, menurut Dr. Hipo, komunitas ini terus berkembang tidak hanya pada konteks air, tetapi juga merambah pada pelestarian alam dan budaya lainnya.
“Komunitas ini juga mengembangkan kepedulian terhadap warisan-warisan budaya masyarakat sebagai bagian dari anugerah yang mereka peroleh sebagaimana air sebagai sumber kehidupan. Mereka menghidupi budaya kesenian, budaya peduli pada satwa monyet di kawasan pemandian Wendit, warisan budaya lain seperti keris, tarian, nyanyian rakyat seperti mocopatan, dan lain-lain. Kehadiran tim kami di tengah komunitas ini tidak untuk menggurui mereka, tetapi mendengar dan melihat aktivitas-aktivitas budaya mereka untuk sekedar membantu bagaimana aktivitas-aktivitas yang sangat berharga ini perlu ditata dan dikembangkan dalam sistem kerja yang lebih terorganisir,” tutup Dr. Hipo. [DTS]