Dorong Praktik Kewargaan Inklusif, UB Gelar Simposium Kebangsaan

Pusat Kajian Karakter dan Kebhinekaan UPT PKM UB menggelar Simposium Kebangsaan bertajuk “Menyelami Keberagaman Menuju Praktik Kewargaan Inklusif”, Jumat, (24/11/2023) di Oriza Hall Guest House Universitas Brawijaya.

Pusat Kajian Karakter dan Kebhinekaan Universitas Brawijaya menyelenggarakan Simposium Kebangsaan untuk memetakan akar persoalan munculnya eksklusivisme dalam praktik kewargaan saat ini. Kegiatan ini diadakan karena adanya berbagai konflik dan kekerasan yang berlatar belakang perbedaan etnis, ras, serta agama yang masih banyak terjadi di sepanjang tahun 2023,

Upaya untuk mencari jalan keluar dari persoalan tersebut dilakukan dengan cara mengundang para ahli seputar kajian keberagaman dan inklusivitas serta dosen MKWK untuk berdialog dan berbagi pengalaman apa saja yang dapat dilakukan ketika berhadapan dengan praktik kewargaan yang cenderung eksklusif di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang plural.

Dalam paparannya, koordinator simposium In’amul Wafi menjelaskan bahwa Simposium Kebangsaan ini merupakan rangkaian puncak dari serial podcast edisi tematik mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, serta Bahasa Indonesia yang telah dilakukan selama 2023.

Wafi menambahkan, berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh Pusat Kajian Karakter dan Kebhinekaan sangat lekat dengan upaya pengembangan karakter kebangsaan sebagai bagian dari upaya turut mewujudkan rahmat bagi semesta.

Para ahli yang menyampaikan pandangannya melalui simposium ini antara lain Dr. Zainal Abidin Bagir, Direktur ICRS UGM dan Founder Sekolah Keragaman; Prof. Dr. Syamsul Arifin, Wakil Rektor I, Universitas Muhammadiyah Malang; Prof. Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya; dan bertindak sebagai moderator Dr. Mohammad Anas, M.Phil, Kepala UPT. Pengembangan Kepribadian Mahasiswa UB. Acara ini juga turut melibatkan civitas akademik, khususnya dosen pengampu MKWK untuk menjadi peserta. Hal ini dilakukan guna menghimpun berbagai perspektif terkait bagaimana mengelola keberagaman dalam praktik kehidupan keindonesiaan.

Melalui Simposium Kebangsaan ini, diharapkan para ahli dan peserta terlebih dahulu akan menginventarisir berbagai persoalan dan dimensi praktik kewargaan kontemporer yang dianggap eksklusif dan menegasikan keberagaman.

Selanjutnya melalui telaah teoritis dari berbagai perspektif, para ahli dan peserta diharapkan dapat melacak akar permasalahan munculnya eksklusivitas kewargaan sekaligus menemukan jalan keluarnya.

Wakil Rektor Bidang Akademik UB, Prof. Dr. Imam Santoso, M.P saat membuka acara simposium menegaskan bahwa kegiatan dengan topik keberagaman perlu disebarluaskan tidak hanya di internal Universitas Brawijaya, mengingat keberagaman sendiri adalah jatidiri bangsa Indonesia yang perlu terus dijaga dengan baik.

Zainal Arifin Bagir dalam paparannya menyampaikan bahwa keragaman itu sesuatu yang nyata, fakta yang tidak bisa ditolak.

“Persoalannya adalah bagaimana cara mengelola keragaman itu sendiri. Maka tiga pertanyaan penting yang perlu dijawab terkait keragaman adalah: bagaimana hidup bersama? Bagaimana keragaman dikelola? Dan bagaimana kesetaraan dan keadilan diperjuangkan? Menurut Zainal jawaban terhadap tiga pertanyaan tersebut tidak tunggal. Untuk mengelola keragaman juga diperlukan konsep dan metode yang beragam, bukan berupa tindakan penyeragaman sebagaimana dilakukan era Orde Baru,” kata Zainal.

Pembicara kedua, Syamsul Arifin lebih menekankan terkait kebhinekaan agama. Kebhinekaan agama merupakan modal sosial dan spiritual, tetapi juga bisa menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik. Maka terkait keberagaman agama, salah satu konsep yang bisa digunakan adalah pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang eksistensi kemajemukan secara positif dan optimis, dan menerimanya sebagai suatu kenyataan yang patut dihargai.

Sebagai pembicara terakhir, Fadli melacak keberagaman Indonesia melalui berbagai tradisi yang ada sejak zaman dulu. Dari perjalanan ke berbagai wilayah di Nusantara, Fadli menyimpulkan berbagai faktor timbulnya konflik berbasis keberagaman. Di antaranya kurang kesadaran kesejarahan, gesekan antarbudaya, diskriminasi-ketimpangan, patriotisme yang melemah, dan intoleransi.

Pada akhir acara, melalui berbagai dialog dan diskusi intensif antara para pembicara dan peserta, diharapkan muncul temuan penting berupa rekomendasi praktis yang berguna bagi penyelesaian persoalan kewargaan kontemporer terutama dalam rangka mewujudkan kewargaan yang inklusif.