Djula-Djuli: Pantun Sebagai Peredam Benturan bagi Modernitas Nusantara

Dr. Dag Yngvesson saat memaparkan materinya
Dr. Dag Yngvesson saat memaparkan materinya

Dr. Dag Yngvesson menjadi pembicara keempat pada hari pertama International Conference on Language, Literature, Education, and Culture (ICOLLEC) 2021. ICOLLEC merupakan sebuah forum akademik yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) secara daring melalui Zoom Meeting dan Youtube channel humasfibub pada Sabtu (09/10/2021) dan Minggu (10/10/2021).

Dr. Yngvesson sendiri merupakan asisten ahli di Fakultas Seni dan Ilmu Sosial Universitas Nottingham, Malaysia. Ia merupakan seorang filmmaker yang memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun, dengan karya mulai dari dokumenter etnografi hingga karya eksperimental dan intergenerik, serta video musik, iklan, dan film skateboard. Bidang studi yang merupakan keahliannya antara lain studi media dan film, Asia Tenggara, postkolonial, gender, dan antropologi visual.

Pada kegiatan tersebut, Dr. Yngvesson menyampaikan presentasinya yang bertajuk “Djula-Djuli Djula-Djuli: Pantun as Shock Absorbers for Nusantara Modernity”. Dalam mempresentasikan materinya, Dr. Yngvesson memanfaatkan beberapa media seperti video, piringan hitam, dan fonograf untuk memperjelas apa yang ingin ia sampaikan.

“Pembicaraan ini akan dimulai dengan mengkontekstualisasikan salah satu contoh Djula-djuli sebagai lagu rekaman. Dari sana, kita akan menelusuri sejarah tentang apa yang sebenarnya merupakan genre transmedial dalam pantun dan teater daerah berbahasa Melayu hingga ke akarnya. Kemudian bergerak maju lagi ke ranah perfilman daerah, pembicaraan ini akan memposisikan pantun sebagai model kunci untuk menerima dan menyerap ‘kejutan’ modernisasi dan globalisasi yang cepat di abad ke-20,” jelasnya.

Di bagian awal presentasinya, Dr. Yngvesson memperdengarkan rekaman album Emilia Contessa yang berjudul Masa Depan. Dalam album tersebut terdapat sebuah lagu berjudul Djula-Djuli. Menurutnya, lagu tersebut menggunakan konsep improvisasi lirik sebagai dasarnya. Liriknya berupa parikan—bentuk kalimat dalam bahasa Jawa yang sering dibandingkan dengan bait pantun Melayu—yang membahas tentang masalah keseharian orang Jawa ‘biasa’.

Dr. Yngvesson menjelaskan bahwa Djula-Djuli sendiri berawal dari sebuah dongeng bernama Djoela-Djoeli Bintang Tiga. Djoela-Djoeli Bintang Tiga merupakan sebuah dongeng yang melibatkan romansa kompleks antara seorang raja dan seorang bidadari bernama Djoela-Djoeli, yang turun dari surga menunggangi angsa.

“Mulai tahun 1899, Djoela-Djoeli Bintang Tiga sangat populer dengan orang-orang Jawa Timur serta grup teater stamboel dan bangsawan Melayu,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa stamboel dan bangsawan adalah teater berbahasa Melayu yang muncul pada abad ke-19. Mereka menggabungkan elemen-elemen dari banyak gaya dan pendekatan global yang berbeda.

“Pada rombongan stamboel dan bangsawan, Djoela-Djoeli (dan banyak narasi lainnya) ditampilkan di seluruh nusantara,” tambahnya.

Dr. Dag Yngvesson dari University of Nottingham, salah satu narasumber utama ICOLLEC 2021
Dr. Dag Yngvesson dari University of Nottingham, salah satu narasumber utama ICOLLEC 2021

Dr. Yngvesson menjelaskan bahwa dalam waktu yang sama dengan munculnya teater stamboel dan bangsawan, teater pribumi berbahasa daerah seperti ludruk, ketoprak, lenong, drama gong, dan lainnya mulai muncul. Semua teater pribumi baru tersebut memiliki fungsi yang sangat penting. Mereka berperan seperti spons untuk narasi, genre, dan gaya yang beredar secara transnasional. Mereka menampilkan narasi yang beragam seperti Romeo dan Juliet, Hamlet, 1001 malam, Ramayana, Djoela-Djoeli, dan lain-lain.

Dalam ludruk, Djula-Djuli secara bertahap terlepas dari narasi tertentu dan diubah menjadi suatu bentuk formal yang menggabungkan musik dan kidungan (bait parikan yang dinyanyikan).

“Transformasi Djula-Djuli menggarisbawahi apa yang pada saat itu sudah menjadi kebiasaan umum daerah untuk meminjam, mengedarkan, dan terus-menerus mengadaptasi bentuk, gaya, dan narasi. Hal-hal tersebut tidak dianggap sebagai plagiasi atau pelanggaran hak cipta, melainkan sebagai ciri khas dan daya tarik utama yang dimiliki oleh teater daerah dan lokal,” jelasnya.

Dr. Yngvesson menjelaskan bahwa dalam ludruk, Djula-Djuli berfungsi sebagai pembuka, yang dipasangkan dengan berbagai macam kidungan yang berfungsi untuk memperkenalkan pemain dan menyambut penonton, membuat tertawa, membuat narasi yang dramatis, atau mengomentari isu-isu lokal modern, agamis, atau bahkan politik global.

“Apa yang dulunya sebuah narasi telah ‘dikosongkan’ dan diubah menjadi wadah atau amplop formal yang dirancang untuk menampung dan menyampaikan apapun, tetapi dengan cara tertentu,” tambahnya.

Djula-Djuli telah menjadi pola yang ada di mana-mana dan banyak disesuaikan dengan keterkaitan yang diakui secara luas ke tempat-tempat tertentu dan sejarah sosio-politik mereka. Bisa dikatakan bahwa ludruk (dan teater daerah lainnya) turut membuat Djula-Djuli tetap relevan hingga saat ini dengan memanfaatkan pantun.

Dr. Yngvesson menjelaskan bahwa ketika mereka menghadapi dan mengadaptasi aliran cerita, genre, dan teknik yang baru dan asing, para pegiat teater stamboel dan bangsawan, serta teater Jawa menyerap dan mengolah hal-hal tersebut serta menyajikannya kepada publik dalam format yang sebagian besar berbasis pantun.

“Dengan cara ini, ‘kejutan’ modernitas global dan ide serta nilai yang muncul ditransformasikan menjadi atraksi lokal dan daerah yang khas,” pungkasnya. [DTS/Humas UB]