Bertempat di Aula Desa Mojorejo, Kota Batu, telah dilangsungkan focus group discussion (FGD) antara dosen peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB) dengan beberapa pihak yang memiliki minat dan tujuan yang sama yakni untuk pengembangan desa inklusi Mojorejo, Kota Batu. Hadir sebagai mitra penelitian dalam FGD antara lain Komunitas Gus Durian Kota Batu, Komunitas FKUB Kota Batu, Pemerintah Desa Mojorejo Kota Batu, dan Komunitas Masyarakat Desa Mojorejo.
Mengawali FGD siang itu, ketua tim peneliti, Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, M.Hum., mengungkapkan bahwa FGD ini merupakan sesuatu yang sangat alamiah dan bukan kebetulan karena semua pihak yang bertemu dalam forum ini adalah para pemerhati multikulturalisme.
“Pertemuan ini sangat diperlukan untuk saling menguatkan karena isu multikulturalisme saat ini sedang berhadapan dengan banyak tantangan internal maupun eksternal. Mudah-mudahan Desa Mojorejo, Kota Batu menjadi tempat bertemunya komunitas-komunitas peduli multikultur ini,” tegas Dr. Hipo.
“Mengapa Mojorejo? Karena masyarakat di desa ini memiliki kesadaran sendiri untuk hidup inklusif. Fenomena ini menarik untuk dijadikan percontohan hidup inklusif. Apa yang mendorong masyarakat menginisiasi sendiri desa inklusi ini? Dan apa yang sesungguhnya sedang dilakukan sebagai upaya branding desa ini? Itulah pertanyaan-pertanyaan penelitian yang masih berada pada taraf deskriptif sebagai fondasi untuk pengembangan desa inklusi ini ke depan,” sambungnya.
Anggota peneliti, Dr. Aji Setyanto menambahkan bahwa penelitian ini adalah dasar bagi penelitian lebih lanjut untuk pengembangan desa inklusi Mojorejo ini.
“Langkah-langkah pengembangan desa inklusi semacam ini perlu didahului oleh pemetaan situasi dan kondisi sebagai kekuatan dasar. Tanpa tahu situasi dan kondisi yang sebenarnya, tidak mungkinlah kita melakukan upaya pembenahan dan pemajuan yang baik. Upaya-upaya itu perlu mendasarkan diri pada data yang kuat dan penelitian awal ini adalah upaya untuk membangun pondasi itu,” papar Dr. Aji.
Anggota peneliti yang lain, Fredy Nugroho, M.Hum., menyampaikan keterlibatan dan kerja sama semua pihak dalam pengembangan desa inklusi Mojorejo, Kota Batu ini merupakan hal yang harus dilakukan.
“Kehadiran dan keterlibatan komunitas-komunitas pemerhati keragaman semacam ini merupakan kekuatan yang sangat dahsyat untuk sebuah upaya pengembangan desa multikultur. Selama ini kita tahu bahwa banyak masyarakat didorong atau diberi intervensi dari luar untuk membangun kesadaran akan realitas keragaman, di Desa Mojorejo ini kita berjumpa dengan masyarakat yang berinisiatif sendiri membangun desanya dalam branding sadar keragaman. Ini fenomena luar biasa yang harus didukung. Adanya komunitas-komunitas pemerhati kerukunan semacam ini sudah merupakan suatu kekuatan dan support tersendiri,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Desa Mojorejo, Kota Batu, Rudjito mengakui desanya sudah sejak lama hidup dalam suasana inklusi. Sudah ada secara turun-temurun. “Pengakuan atau label ‘Desa Sadar Kerukunan’ yang diberikan kepada Desa Mojorejo bukan sesuatu yang dibuat-buat. Itu lebih sebagai penghargaan terhadap masyarakat Desa Mojorejo yang memang selama ini sudah hidup secara alamiah seperti itu. Mereka hidup demikian sudah sejak nenek moyang. Mereka sudah terbiasa seperti itu karena faktor perkawinan di antara masyarakat itu sendiri. Jadi, kalau kita mau lihat lebih dalam, mereka hidup rukun dan guyub itu karena hubungan persaudaraan. Sebagai saudara, mereka hidup tanpa membedakan satu sama lain. Satu contoh kecil saja, di tempat lain, orang mempersoalkan perihal pekuburan yang harus dipisah berdasarkan agama. Di Desa Mojorejo ini hanya ada satu kuburan. Semua orang yang meninggal dikuburkan di tempat yang sama,” tegasnya. [dts/Humas UB]