Cerita Dosen FISIP Lebaran di Skotlandia: Salat Ied Bergantian Hingga Rindu Keluarga

Tidak semua sivitas akademika FISIP UB bisa merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga. Beberapa dosen yang sedang tugas belajar terutama ke kampus luar negeri harus merayakan lebaran sendiri. Meski sendiri, tentu ada beberapacerita hingga kesan yang didapatkan. Salah satunya yang dialami Abdul Hair, dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB.

Abdul Hair saat ini menjalani program Doktor di The University of Edinburgh Skotlandia. Tahun ini adalah kali pertama dia menjalani hari raya di negeri orang. Ada beberapa hal yang membedakan menurut Hair antara lebaran di Indonesia dan Skotlandia.

“Disini (Skotlandia) sepertinya tidak menggunakan hisab. Semua menggunakan metode hilal. Kalau di Indonesia baru diketahui tanggal 29 Ramadhan habis maghrib tapi kalau di sini sudah terlihat sekitar jam 2 siang hilalnya terlihat sebelum matahari terbenam. Kami di sini lebaran tanggal 30,” paparnya, Selasa (8/4/2025).

Hair menceritakan untuk pertama kali dia melaksanakan Salat Ied tidak menggunakan sarung dan hanya memakai celana panjang biasa. Menurutnya, selama 17-18 tahun terakhir merayakan hari raya, dia selalu memakai sarung khusus Donggala yang ditenun oleh neneknya.

“Kenapa kemudian saya tidak memakai sarung seperti biasanya, ini bukan karena saya tidak membawanya. Tapi karena saya merasa aneh menggunakan sarung karena selama hidup di UK (United Kingdom), saya tidak pernah melihat orang disini salat pakai sarung, adanya pakai jubah atau celana,” ucapnya.

“Alasan kedua, salat Ied disini dilaksanakan saat suhunya dibawah 10 derajat, jadi kalau menggunakan sarung bakal dingin,” sambung pria alumni Sarjana Ilmu Komunikasi UB ini.

Namun keputusannya tidak memakai sarung saat salat ied ini bakal tidak dilakukan lagi oleh Hair. Sebab ternyata umat muslim yang berasal dari Timur Tengah atau Afrika cuek saat memakai pakaian khas mereka ketika salat ied.

“Jadi saat salat ied di Edinburgh Central Mosque, teman-teman muslim dari Timur Tengah dan Afrika cuek saja, mereka pakai pakaian khas, mereka tidak peduli dan ternyata warga lokal juga tidak peduli. Karena itulah saat itu saya menyadari keputusan saya tidak pakai sarung ternyata asumsi tidak berdasar, jadi kalau salat ied lagi, saya akan pakai tradisi pakai sarung lagi,” paparnya.

Hair mengungkapkan pelaksanaan Salat Ied di Edinburgh dilakukan sebanyak empat kali. Ini dilakukan karena jumlah muslim yang banyak namun masjid atau lapangan terbatas.

“Di Edinburgh Salat Ied ada empat kali, jam 7 pagi, jam 8, jam 9 dan jam 10 pagi. Kenapa dilaksanakan 4 kali, muslim di sini minortitas dan tidak banyak masjid, sehingga agar bisa akomodir, dibuat ke beberapa jamaah. Saya saja yang jam 10 pagi tidak kebagian tempat di dalam masjid,” papar pria asal Palu ini.

Satu hal yang dirindukan oleh Abdul Hair adalah keluarga. Hari raya Idul Fitri tahun ini adalah kali pertama dia tidak bersama keluarga. Menurutnya, saat di Indonesia selalu bergantian merayakan di keluarganya atau keluarga istri.

“Ini pertama kali tidak hari raya bersama keluarga, istri saya juga tidak di Edinburh karena dia sedang studi di Hamburg Jerman, kalau berdua mungkin mengobati rasa kangen di Indonesia, ini murni pertama kali tidak ada keluarga saat hariraya, saya merasa sedih karena tidak bisa lebaran bersama keluarga,” jelasnya.

Meski demikian, perihal makanan khas Indonesia saat hari raya, Hair tidak terlalu khawatir. Dia mengungkapkan saathari kedua lebaran atau tanggal 31 Maret (waktu Skotlandia), mahasiswa Indonesia di Edinburgh melakukan halal bihalal dan tiap orang membawa makanan khas Indonesia.

“Ini yang mengobati kangen masakan Indonesia, ada yang bawa opor, ada yang bawa ikan,” pungkasnya. (*/Humas UB)