British Council Ajak Belasan Kampus Kunjungi Layanan Disabilitas di UB

Penerima Global Partnership Program dari British Council Kunjungi Sub Direktorat Layanan Disabilitas
Penerima Global Partnership Program dari British Council Kunjungi Sub Direktorat Layanan Disabilitas

British Council Indonesia mengajak belasan kampus di Indonesia mengunjungi Subdirektorat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya Kamis, (16/5/2024). Kunjungan tersebut merupakan salah satu rangkaian agenda “Exploring GEDSI in Higher Education – A workshop and implementation case study” untuk perwakilan 21 kampus penerima Global Partnership Program (GPP) yang diselenggarakan British Council.

British Council berharap, dengan kegiatan ini, penerima program GPP dapat memahami kebijakan Equality, Diversity and Inclusion (EDI). British Council mempertimbangkan UB dalam penyelenggaraan program ini sebagai studi kasus penyelenggaraan EDI. Ini karena sejak lama, UB memang telah menyelenggarakan layanan disabilitas dan memiliki pusat studi gender. Dengan mengetahui lebih banyak tentang best practice di UB, British Council mengharapkan kampus-kampus tersebut terbekali wawasan dari praktik yang sudah dilakukan.

Kampus penerima GPP British Council adalah Universitas Negeri Malang, Universitas Padjadjaran, Telkom University, Universitas Gadjah Mada, Universitas Al Azhar Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Universitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Binus University, Politeknik Batam, Universitas Udayana, Universitas Kristen Widya Mandala Surabaya, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Brawijaya. Setiap kampus bekerja sama dengan kampus di Britania Raya. Masing-masing kampus diwakili dua orang yang dibagi ke dua isu, yaitu disabilitas dan gender.

Rangkaian kegiatan kali ini dimulai dengan penjelasan tentang safeguarding, lalu dilanjutkan dengan diskusi panel tentang pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi sosial yang diisi oleh Slamet Thohari (co-founder SLD UB) dan Endah Trista Agustiana (Senior Advisor on GEDSI, INKLUSI and Founder, IFORWARD). Pada panel selanjutnya, peserta mendapatkan penjelasan tentang implementasi studi kasus penyelenggaraan kampus inklusif, yang diisi oleh Ketua SLD UB Zubaidah Ningsih AS., Ph.D dan pendiri Pusat Studi Gender UB Profesor Keppi Sukesi.

Ketua SLD UB Zubaidah Ningsih AS., Ph.D menjelaskan tentang tantangan-tantangan yang dihadapi perguruan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Salah satu yang ia tekankan adalah tentang pemahaman mendasar tentang isu disabilitas.

“Pemahaman yang tepat itu yang akan mengarahkan kita ke mana layanan disabilitas akan melaju. Kadang ada yang sederhana, tapi mungkin tidak terpikirkan seperti penggunaan meja kecil untuk penyandang disabilitas daksa yang sama sekali tidak memiliki tangan,” ucapnya.

Ia juga menyampaikan tentang pentingnya terus menerus mengadvokasi kebijakan di berbagai level, baik di internal perguruan tinggi atau di level regional dan nasional. “Kita tidak bisa sendirian dalam hal ini,” pesannya.

Sharing Praktik dan Menyimak Langsung dari Mahasiswa Difabel

Selain dua panel di atas, peserta workshop juga melakukan studi kasus di Rumah Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya. Mereka disambut jajaran pengurus SLD UB dan mahasiswa penyandang disabilitas. Penjelasan dari jajaran pengurus SLD UB merentang dari berbagai aspek, mulai dari seleksi penerimaan mahasiswa baru, pendampingan, layanan-layanan akademik, penyesuaian kurikulum, hingga berbagai hal terkait program rutin yang perlu dilakukan untuk mendukung pendidikan inklusif.

Mahasiswa difabel yang hadir dalam kunjungan ini turut menyampaikan pandangan mereka terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif. Salah satunya Ayu, mahasiswi dengan disabilitas netra di Jurusan Psikologi FISIP UB, bercerita pula tentang bagaimana ia sebagai penyandang disabilitas netra menghadapi kegiatan akademik.

“Saya pilih di sini karena memang dukungan akademik, seperti yang saya dengar sebelum saya kuliah, mencukupi kebutuhan saya,” ucap Ayu ketika ia ditanya perwakilan ITB tentang mengapa ia memilih UB.

Hal senada juga disampaikan oleh Duwi, mahasiswa difabel daksa yang sedang menjalani S2 di Fakultas Ilmu Komputer UB. “Saya sempat dikhawatirkan oleh orang tua, jika jauh dari mereka. Tapi saya membuat mereka yakin dengan pilihan saya,” ceritanya.

Fasya, mahasiswa Tuli sefakultas dengan Duwi, juga bercerita bagaimana ia sebelumnya kesulitan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi pasca SMALB. “Di sini saya mendapatkan akomodasi yang bagi saya luar biasa, seperti juru bahasa isyarat dan lainnya,” ucap Fasya.[mahali/sitirahma]